Udara di Marunda Masih Tercemar

Amandra Megarani

Hari Udara Bersih untuk Langit Biru diperingati setiap 7 September 2024. Alumnia meliput Marunda, salah satu kawasan pemukiman di Jakarta yang terdampak pencemaran udara berat.

DESI Anggraini pertama kali memasuki rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Marunda Blok D3, Cilincing, Jakarta Utara pada awal 2021. Ketika itu, sewa kontrakan Desi di Pasar Gembrong, Jakarta Timur berakhir.

Pandemi COVID-19 memaksanya berhemat dengan pindah ke rusunawa di pinggir pantai Marunda.

“Sewaktu saya datang, rusunawa baru dicat, masih baru,” kata ibu tiga anak itu kepada Alumnia, pertengahan Agustus lalu. Lokasi rusunawa memang terpencil, tetapi ada Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di lantai dasar yang berseberangan dengan SD.

Di lantai lima rusunawa itu, Desi juga masih melanjutkan usaha berjualan mie rebus instan hingga kopi siap saji. Pendapatannya memang tak sebanyak ketika ia berjualan di Pasar Gembrong, tetapi masih dapat membantu ekonomi rumah tangga yang disokong utama oleh suaminya, seorang satpam.

FOTO: AMANDRA MUSTIKA MEGARANI

Petaka mulai terasa tak lama kemudian. Debu hitam selalu menempel di perabotan dalam rumah. “Paling terasa di lantai. Disapu empat-lima kali sehari tetap ada debu hitam,” katanya. Selain itu, Desi dan tiga anaknya kerap terpapar batuk berkepanjangan, sakit mata hingga gatal-gatal. “Apalagi yang kecil,” kata Desi merujuk putranya yang berusia dua tahun.

Belakangan, Desi dan penghuni rusunawa mengetahui asal usul debu hitam berasal dari tempat penumpukan (stockpile) batu bara terbuka di Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Jarak stockpile dari KBN ke rusunawa hanya sekitar dua kilometer, dipisahkan oleh Sungai Titram.

Ketika angin berhembus dari ke arah tenggara dan selatan, butiran batubara berterbangan hingga ke rusunawa di sekitarnya. Hingga tahun lalu, tumpukan batubara yang membentuk corong terlihat jelas dari lantai lima rusunawa. Tumpukan itu sempat ditutup dengan terpal biru, tetapi debu tetap berterbangan ke rusunawa.

Debu hitam juga menjangkau Rusunawa Marunda Blok B. Berjarak kurang dari satu kilometer dari Blok D, penghuni rusunawa ini juga sempat mengeluhkan debu hitam selama empat tahun terakhir. “Jendela ditutup, kamar dikunci juga, debu hitam tetap masuk,” kata Rani, penghuni lantai dua.

Beberapa bulan terakhir, penghuni rusunawa Marunda merasakan paparan debu hitam jauh menipis. Desi misalnya, merasa keluhan gatal mereda. Biasanya, Desi bisa sepekan dua kali berobat ke Puskesmas terdekat. Obat habis, anak-anak mulai menggaruk. Namun kini, “Sudah sebulan anak saya tak gatal-gatal.”

Ridcard Hosea Sihombing, tetangga Desi di lantai lima, menduga berkurangnya debu hitam dan keluhan kesehatan itu berhubungan dengan dipindahkannya stockpile batu bara. “Tumpukan batu baranya sekarang dipindah ke dekat laut. Jauh dari tempat yang kemarin,” kata Ridcard sambil menunjuk lokasi baru stockpile di tanah reklamasi sebelah utara. Lokasi stockpile lama kini bersih dari batu bara.

Debu hitam menghilang, bukan berarti udara di Rusunawa Marunda lebih sehat. Kawasan Marunda sejak lama di-kelilingi pabrik-pabrik yang membakar batu bara dan jalan-jalan besar yang dilewati truk dan kendaraan berat. Kedua aktivitas ini menghasilkan partikulat tak kasat mata seperti Particulate Matters (PM10 dan PM2,5) dan SO2.

WHO menyebutkan bahwa paparan PM10 (partikel berukuran 10 mikron) dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah kesehatan serius karena terhirup dan mengendap di saluran pernafasan atas. Akibatnya, dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi paru.

PM2,5 mampu menembus jauh ke aliran darah, menyebabkan dampak kardiovaskular, strok, dan gagal pernapasan. PM2,5 merupakan partikel halus berukuran 2,5 meter, seti-pis helaian rambut dibelah 20.

Adapun sulfur dioksida (SO2) mengiritasi saluran pernapasan dan meningkatkan risiko infeksi saluran pernafasan. Sulfur dioksida menyebabkan batuk, sekresi lendir, dan memperburuk kondisi seperti asma dan bronkitis kronis.

Penelitian Ginanjar Syuhada (2023) menunjukkan bahwa pencemaran udara di Jakarta berpotensi menyebabkan lebih dari 10 ribu kematian, lebih dari 5.000 rawat inap akibat penyakit kardio-pernafasan dan lebih dari 7.000 dampak kesehatan bagi anak setiap tahunnya.

SUMBER: PENELITIAN GINANJAR SYUHADA DKK, Impacts of Air Pollution on Health and Cost of Illness in Jakarta

Penelitian Impacts of Air Pollution on Health and Cost of Illness in Jakarta itu menggunakan data paparan PM2,5 dan O3 tahun 2018—2019 dari Badan Lingkungan Hidup Daerah dan data rawat inap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) DKI Jakarta pada 2019. Biaya ekonomi yang disebabkan polusi udara di Jakarta itu diperkirakan mencapai US$ 2.943,42 juta (2,2% dari PDRB Jakarta) pada 2019.

Hasil studi itu konsisten dengan studi lain yang menilai beban kesehatan dan ekonomi akibat pencemaran udara. Pada 2021 misalnya, Badan Kesehatan Masyarakat Kanada memperkirakan polusi udara terkait dengan kematian dini 15.300 jiwa per tahun. Hal ini menyebabkan biaya ekonomi CA$ 114 miliar. Polusi udara di Thailand, menurut studi, menyebabkan 50 ribu kematian per tahun dengan biaya ekonomi sebesar US$ 60,9 miliar (hampir 15% dari PDB Thailand) pada 2016.

Kembali ke Rusunawa Marunda, meski iritasi mata dan gatal menghilang, batuk dan gangguan pernafasan agaknya menetap. Anak-anak Desi, misalnya, masih terdengar batuk saat bermain siang itu. “Kalau batuk memang sering,” kata Desi.

Hal serupa diungkap Rani, penghuni Blok B2, “Kalau batuk itu sepanjang tahun,” katanya. Di lemari obat rumah keduanya, Paracetamol dan Ambroxol hasil resep dokter tersedia. Namun, keduanya menganggap bahwa batuk adalah dampak dari “kebanyakan minum es.”

Hanya Ridcard yang menganggap bahwa batuk berkepanjangan ini berhubungan dengan lokasi rusunawa yang dikelilingi pabrik dan jalur transportasi kendaraan berat. “Saya paham karena banyak LSM dan peneliti yang menjadikan rusunawa studi kasus dampak pencemaran,” kata Ridcard.

Dari lantai lima rusunawa Blok D sebelah barat, deretan cerobong pabrik terlihat melepaskan asap hitam. Jika memandang ke arah barat laut, gerakan ekskavator menumpuk batu bara di lokasi baru terlihat. Sesekali, kapal pengangkut batu bara berseliweran. Di sisi timur, gudang dan pabrik tersembunyi di antara keriuhan kota. Sementara di barat daya, aktivitas bongkar muat kontainer terlihat di kejauhan.Mahasiswa Akademi Maritim yang tinggal di rusunawa bersama kedua orang tuanya sejak 2018 ini menyadari lokasi tempat tinggalnya tidak ideal. “Tidak ada pilihan lain bagi kami yang tinggal di sini. Ini sudah risiko penghuni,” kata Ridcard. Bebas dari debu hitam, tetapi belum bebas dari pencemaran udara. ▉

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *