Produk Artistik dari Sampah Plastik

Mutiara Sidharta

Bintang Gantyna (paling kiri) bersama timnya. FOTO: BRILLIANT AWALLUDIN JAYA | ALUMNIA

Bintang Gantyna mengubah sampah plastik menjadi aneka furnitur dan aksesoris rumah tangga. Fungsional dan artistik

DI bengkel yang berlokasi di Lembang, kesejukan udara pagi sudah tak terasa. Sejak matahari naik sepenggalah, oven-oven di dalam bengkel sudah mengepul, melelehkan campuran pelet plastik biru dan putih. Salah seorang tukang kemudian memipihkan lelehan pelet di atas plat cetakan. Pola warna yang terbentuk tak pernah sama. Belum puas Alumnia memperhatikan, sang tukang menambah sisa pelet plastik yang sudah ditakar dari awal hingga batas tinggi pelat dan menguncinya. Pelat itu kembali masuk ke dalam oven.

Dua belas menit kemudian, tukang itu membuka pelat, mencongkel hasil cetakan lalu mencemplungkannya ke dalam air agar bentuknya padat dan ajek. Usai di amplas dan waxing, tatakan gelas itu siap dikemas untuk pemesan.

Tatakan gelas yang bersumber dari sampah plastik ini merupakan salah satu produk karya Trash Smith yang dirancang Bintang Gantyna (DP ‘15). Pada 2020, Bintang mendirikan bengkel dan studio yang namanya terinspirasi dari kata blacksmith, yang bermakna pandai besi. “Tapi yang di-pandai-in (di sini) bukan besi, melainkan sampah,” kata Bintang kepada Alumnia, awal September lalu.

Porsi crafting dan desain di Trash Smith lebih dominan ketimbang pengolahan sampah semata sehingga produk yang dihasilkan unik. “Saya tidak banyak mengeluarkan produk yang sedang digemari pasar. Saya selalu cari side stream-nya,” kata Bintang.

Contohnya, wadah penyimpanan piringan hitam. Pasarnya sangat tersegmentasi di kalangan pekerja seni dan kolektor, tetapi produk ini yang membuat Trash Smith banyak diundang untuk berpameran. Contoh lainnya, asbak.

“Ceruk pasar produk hijau memang harusnya bukan perokok. Tapi, kenapa tidak? Saya coba menjangkau pasar yang tidak dijangkau sebelumnya,” kata Bintang. Ia melihat kebiasaan perokok membuang puntung rokok sembarangan. Ia juga melihat banyak kampanye tentang hidup berkelanjutan memberi kesan bahwa perubahan gaya hidup harus dilakukan sekaligus.

Asbak portable buatan Trash Smith ingin menyiratkan pesan bahwa perubahan ke arah lebih baik bisa dikerjakan bertahap, dimulai dari hal sederhana. “Sesederhana menampung puntung rokok sendiri dan membuangnya nanti ke tempat sampah,” katanya.

Selain tiga produk tadi, Trash Smith menawarkan produk limited lain seperti cermin, wadah perhiasan, dan vas. Produk-produk ini dapat dibeli melalui lokapasar melalui sistem pernapasan dan toko konsinyasi. Salah satunya di Grammars, Cihapit, Bandung.

Trash Smith juga membuka ruang kolaborasi. Pada 2022, kerja sama dengan Paragon menghasilkan belasan meja, kursi kecil, dan rak dari kemasan kosmetik bekas Wardah. Kerja sama dengan Green Dust, label musik dari Jawa Timur menghasilkan bodi motor dan kacamata. Dengan Good Virtues Co., Trash Smith mengubah kemasan plastik menjadi sisir. Proyek bersama Indoganic yang masih berjalan mengubah kemasan kosmetik yang tidak terpakai menjadi produk artistik, tetapi tetap fungsional.

Saat mendesain, Bintang mengadopsi gaya kontemporer yang tidak mengacu pada satu konsep visual agar konsumen tidak cepat bosan. Ia ingin menghindari produk kembali berakhir di tempat sampah.

Meja kecil yang dipamerkan pada ICAD By The Bay pa-da 2023, misalnya, mengkombinasikan material plastik dengan kayu sungkai. Bintang memberikan sentuhan dekorasi ukiran Jawa pada bagian plastik di sisi atas dan samping, te-tapi membiarkan bagian kayu tetap lurus sebagai kaki meja. Ini tidak mudah. Sebab, keduanya memiliki sifat dan spesifikasi berbeda.

Keterlibatan Bintang dalam pengolahan sampah plastik, bermula dari ketidaksengajaan. Saat mengambil mata Kuliah Kerja Praktek, Bintang yang sedang tertarik pada material organik, mendaftar ke biro arsitektur IBUKU di Bali. Biro arsitektur milik Elora Hardy itu dikenal karena eksplorasi bangunan dan furniture. Namun, alih-alih mengolah bambu, Bintang malah ditempatkan di Innovationhub,

bagian dari Green School yang didirikan oleh keluarga Hardy. Di sana, ia mulai mengenal pengolahan plastik. Diawali studi literatur, Bintang belajar hingga cara pengolahannya. Ia terlibat langsung dalam proyek berjalan.

Rupanya pengalaman selama di Bali membuka jalan bagi Bintang bermain dengan plastik dalam desainnya. Untuk karya Tugas Akhir, ia mengolah sampah plastik untuk menjadi pot hidroponik dengan konsep puzzle. Menurutnya, plastik berpotensi besar karena materialnya serba guna, metode pengolahannya banyak, serta suplainya melimpah.

Toh ketika memulai Trash Smith, Bintang sempat bergerilya untuk mendapatkan bahan baku. Ia mendatangi pengepul dan membeli sampah plastik berupa tutup dan badan botol atau tutup galon air dengan syarat, sudah bersih. Jenis-nya juga khusus: polipropilen dan polietilen (HDPE atau LDPE). Kedua jenis plastik ini, kata Bintang, mengakomodasi semua kebutuhan produk, baik yang kecil, maupun yang memerlukan struktur.

Pemilihan lokasi bengkel di Lembang memudahkan Trash Smith memperoleh suplai bahan baku. Tak jauh dari sana, ada tempat pembuangan sampah (TPS) 3R. Sampah plastik tak lagi dicari tetapi langsung diantar ke bengkel.

Bintang memastikan warna primer dan putih selalu ada. Suplai warna lain tentu fluktuatif. Ia sempat menemui kendala soal ketersediaan warna ini, tetapi bisa diatasi berkat kemitraan dengan lebih dari satu penyuplai.

Bintang mengatur komposisi warna untuk memperoleh konsistensi di setiap produk. Sebagai gambaran, satu pelat A2 dengan ketebalan 1 cm membutuhkan 2,5 kg sampah plastik. “Misal warna ini, (komposisinya) warna emas 1,5 kg, merah sekian gram, dan putih sekian gram lalu diaduk acak,” ujar Bintang. Dengan begitu, warna tetap konsisten meski pola hasil cetakan tidak akan sama. Ini menjadi keunikan produk Trash Smith.

Keunikan lainnya adalah warna merah muda. Bintang membuatnya sendiri dari lelehan plastik merah dan putih yang diaduk rata selagi panas. Warna ini kemudian dikombinasikan dengan warna lain untuk membentuk pola tertentu.

Dalam prosedur produksi, Bintang berusaha untuk tidak membuang sampah lagi ke lingkungan. Potongan sisa produksi, baik besar maupun kecil, disimpan. Potongan besar dilihat dimensinya lalu dipakai lagi untuk membuat produk berukuran lebih kecil. Potongan kecil dikumpulkan, disaring, dan disortir berdasarkan warna untuk menjadi bahan eksplorasi produk berikutnya, misalnya yang sedang dilakukan, eksplorasi tekstur.

Akhir tahun ini Trash Smith berencana meluncurkan furniture kombinasi plastik dan bambu. Plastik kuat untuk luar ruangan, tetapi bambu mudah lapuk. Butuh perlakuan tambahan supaya bambu lebih kuat.

Meski saat ini masih berfokus pada sampah plastik, Trash Smith menyasar bermacam jenis sampah untuk diolah. Berbekal pengalaman mengikuti workshop pengolahan sampah sayur dari British Council dan Museum Macan pada 2021, Bintang mengembangkan pembuatan lembaran serupa kulit, tetapi elastis dan tembus cahaya.

Ia juga akan mengolah puntung rokok, kolaborasi Trash Smith dengan satu kafe di Bandung. Satu lagi, yang masih dalam tahap permulaan adalah ampas kopi. Eksplorasi ide tak pernah berhenti di bengkel yang dikelilingi perkebunan sayuran itu. ▉

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *