5 Alasan Profesional Muda Indonesia Pilih Resign dan Cari Kerja di Luar Negeri

Fachrizal Hutabarat

Banyak profesional muda Indonesia memilih resign cepat dari pekerjaan pertama karena merasa sistem kerja di dalam negeri tidak memberi ruang berkembang, sehingga mereka mencari peluang yang lebih menjanjikan di luar negeri.

BELAKANGAN, muncul fenomena tagar #KaburAjaDulu yang pernah marak di medsos. Fenomena ini semakin menguat setelah pemerintah mengumumkan kebijakan efisiensi anggaran besar-besaran yang diterapkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah memangkas anggaran hingga Rp 306,7 triliun, yang berdampak pada berbagai sektor, termasuk pendidikan dan tenaga kerja.

Kondisi ini memicu kekhawatiran akan semakin sempitnya kesempatan kerja bagi lulusan baru. Fenomena ini juga adalah sebuah ungkapan setengah bercanda, setengah serius, tentang keinginan resign cepat dari pekerjaan pertama.

Namun dibalik tagar itu, ada realita yang tidak bisa diabaikan: semakin banyak fresh graduate atau talenta unggul di Indonesia yang memutuskan keluar dari pekerjaan pertama mereka dalam waktu kurang dari setahun. 

Hal ini mengacu kepada banyaknya profesional muda yang merasa dunia kerja pertama mereka tidak sesuai ekspektasi: gaji kecil, jam kerja panjang, dan tidak ada ruang untuk belajar atau naik pangkat.

Menanggapi isu ini, Menteri Ketenagakerjaan, Prof. Yassierli Ph.D (TI’93) pernah berkata bahwa ajakan untuk meninggalkan tanah air secara massal tersebut bukanlah hal yang buruk, selama tenaga kerja Indonesia tetap memiliki semangat untuk kembali dan membangun bangsa. 

“Yang terpenting adalah bagaimana setelahnya kembali ke Indonesia dan berkontribusi bagi negara,” ujar Yassierli lewat pantauan daring Alumnia dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa 18 Februari 2025 dalam artikel Alumnia berjudul “Tagar #KaburAjaDulu Jadi Perhatian Internasional, Menaker Yassierli Beri Tanggapan” pada 24 Februari 2025 lalu.

Namun, menurut artikel Alumnia berjudul “#KaburAjaDulu, Jeritan Lirih Brain Drain Indonesia”, fenomena perginya para talenta unggul itu, meski sering diremehkan sebagian kalangan, adalah gejala serius dari masalah struktural yang lebih dalam: brain drain

Gelombang migrasi intelektual dan profesional terjadi karena negara gagal menyediakan iklim yang mendukung pertumbuhan dan inovasi.

Di tengah era bonus demografi, yang mana lebih dari 60% penduduk Indonesia berada dalam usia produktif, fenomena brain drain ini menjadi ironi besar. 

Berdasarkan data agregat perwakilan RI (2024) di KPU yang dikutip dari Majalah Alumnia edisi 05 “Jejak Gembong”, tercatat hampir 4,5 juta WNI yang merantau ke luar negeri. 

Data ini diperkuat dari data dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan yang menunjukkan bahwa dalam enam tahun, ada 5.222 WNI berganti kewarganegaraan menjadi warga Singapura, mayoritas usia produktif.

Alih-alih menjadi kekuatan untuk melepaskan diri dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) untuk bertransformasi menjadi negara maju, banyak talenta muda justru memilih meninggalkan tanah air karena kecewa pada birokrasi yang lamban, sistem pendidikan yang tidak adaptif, serta budaya kerja yang belum sepenuhnya menghargai kompetensi.

Kenapa hal ini terjadi? Berikut adalah lima alasan paling umum berdasarkan pengalaman profesional muda, termasuk para alumni ITB yang kini bekerja di dalam maupun luar negeri.

1. Gaji Tidak Sebanding dengan Beban Kerja

Banyak anak muda yang baru masuk dunia kerja menemukan bahwa ekspektasi mereka tidak sesuai dengan kenyataan. Gaji yang diterima sering kali tidak mencukupi biaya hidup di kota besar, apalagi bila harus membayar kos, transportasi, dan kebutuhan pribadi lainnya.

Sufty Nurahmartiyanti (DI ‘06) adalah salah satunya. Bagi ibu tunggal ini, meninggalkan tanah air dan berpisah sementara dengan putri semata wayangnya adalah keputusan paling berat. 

“Kondisi ekonomi pasca pandemi tidak membaik. Situasi politik di Indonesia juga enggak meyakinkan,” katanya. Sejak Juli tahun lalu, Sufty menetap dan bekerja di Bangkok, Thailand.

Ketidakseimbangan antara input dan output ini membuat banyak profesional muda merasa lelah secara fisik dan emosional, meski baru beberapa bulan bekerja.

2. Lingkungan Kerja Kurang Transparan dan Tidak Meritokratis

Banyak profesional muda merasa frustasi saat melihat bahwa jabatan atau proyek besar bukan diberikan karena kinerja, tetapi karena koneksi. “Terlalu banyak posisi strategis diisi karena ‘siapa kenal siapa’,” ujar Ferdian Rahim (SI ’05), yang kini bekerja di Qatar.

“Pemimpin dipilih karena relasi politik, bukan karena kualitas.” Hal ini yang membuat Ferdian  merasa generasi muda tidak ada ruang untuk tumbuh, karena sistem tidak memberi peluang berdasarkan kompetensi, melainkan koneksi atau ‘orang dalam semata’.

Baginya, bekerja di luar negeri menawarkan fairness—rasa dihargai sebagai profesional karena kompetensi. “Saya enggak punya siapa-siapa di sini. Tapi, KPI (key performance indicator) saya jelas. Yang dilihat ya, kerja saya,” katanya.

Namun, meski begitu, Ferdian bermimpi suatu saat ada gerakan kolektif untuk pulang membangun bangsa bersama. 

“Saya berharap suatu hari nanti pemimpin RI tertinggi memanggil kami pulang. ‘Yuk, kita bareng-bareng bangun ulang Indonesia dengan sistem yang sehat.’,” ujarnya.

3. Budaya Kerja yang Tidak Sehat dan Minim Dukungan

Tentu, tak semua diaspora ingin menetap selamanya di luar negeri. Justru sebaliknya, banyak dari mereka memelihara harapan untuk pulang dan membangun kembali dari dalam. 

Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Menteri Yassierli sebelumnya dan dilakukan oleh Yvan Christian (TM ’05) yang telah genap tinggal satu dekade di Malaysia menyebut bahwa pulang bukan soal romantisme, tapi soal kesiapan sistem.

“Insentif tak selalu soal finansial, tapi juga sistem kerja yang jelas dan ringkas. Jangan sampai kerja A, dengan objektif B, tapi diganggu institusi C. Jangan cuma panggil pulang, tapi birokrasinya tetap sama ruwetnya,” kata Yvan mengutip artikel Alumnia berjudul “#KaburAjaDulu, Jeritan Lirih Brain Drain Indonesia”,.

Lingkungan seperti ini membuat para profesional muda kehilangan motivasi, bahkan mengalami burnout di awal karier. Yvan berharap akan pulang untuk kembali membangun Indonesia apabila sistem birokrasinya sudah menjadi lebih baik. 

4. Minimnya Peluang Berkembang dan Inovasi

Kerinduan untuk berkontribusi nyata juga disuarakan oleh Haris Koentjoro (AR ‘90), arsitek yang sejak 1999 menetap di Maryland, AS. Tak menampik hambatan bisnis di Indonesia. 

Haris memulai langkahnya dengan mendirikan firma arsitektur di Bandung dan Jakarta. Haris  berprinsip  “Kalau pulang harus bisa menciptakan lapangan kerja, bukan mengambil jatah orang lain”.

Sumber masalahnya bukan individu yang memutuskan pergi, melainkan sistem yang gagal menampung mereka. 

Sebuah negara yang tak menyiapkan ruang bagi SDM unggul akhirnya akan melihat mereka memberikan kontribusi, tapi bukan untuk Indonesia.

Menurut laporan Bank Dunia pada 2020, peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing business) Indonesia berada di peringkat 73 dari 190 negara.

Ini berarti sistem birokrasi yang berbelit-belit, biaya yang tinggi untuk memulai bisnis, dan ketidakpastian hukum masih menjadi hambatan serius bagi mereka yang ingin berinovasi dan berinvestasi di negeri ini. 

5. Sistem Kerja yang Tak Memberi Ruang untuk Ide Baru Muncul

Sementara itu, menurut Vincent Fidelis Setiawan, Tak sedikit lulusan terbaik Indonesia yang merasa negara belum siap untuk SDM unggul. Mereka menemukan bahwa sistem kerja di dalam negeri tidak memberi ruang untuk ide baru atau pertumbuhan intelektual.

“Teman-teman saya yang S3 dari luar negeri pulang, tapi malah kerja di brand retail,” kata Vincent Fidelis Setiawan (GL ’15).

“Sayang banget, kapasitasnya tinggi, tapi enggak ada tempat untuk berkembang.” Akibatnya, banyak yang memilih resign dan mencari ruang baru—di luar negeri, atau di sektor yang lebih progresif.

Vincent melanjutkan, pemerintah seharusnya tidak menyalahkan mereka yang memilih untuk #KaburAjaDulu, karena kenyataannya daya serap tenaga kerja di Indonesia masih rendah. 

Bahkan setelah resign, banyak profesional justru diarahkan kembali ke perusahaan lama. Situasi ini diperparah dengan kebijakan seperti pengangkatan CPNS yang mundur dari April ke Oktober.

#KaburAjaDulu: Bonus Demografi Terancam, Jika Sistem Tak Berubah

Keputusan untuk resign cepat dari pekerjaan pertama bukan soal lemah mental atau tidak loyal. Ini adalah respon terhadap sistem kerja yang belum siap memfasilitasi generasi baru tenaga kerja yang lebih kritis, adaptif, dan punya aspirasi tinggi.

Sebagai negara dengan bonus demografi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia punya peluang besar—tapi juga tantangan besar.

Jika sistem tidak berubah, maka bukan hanya satu dua orang yang akan resign, tapi gelombang besar talenta terbaik yang akan #KaburAjaDulu.Oleh karena itu, Sumber masalahnya bukan individu yang memutuskan pergi, melainkan sistem yang gagal menampung mereka.

Sebuah negara yang tak menyiapkan ruang bagi SDM unggul akhirnya akan melihat mereka memberikan kontribusi, tapi bukan untuk Indonesia, namun ke negeri orang lain yang menawarkan kesempatan berkembang bagi para talenta unggul Indonesia untuk berkembang jadi lebih baik.

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *