IAT ITB Soroti HBA & HPM, Tawarkan Rumusan Kebijakan Sektor Pertambangan

Fachrizal Hutabarat


IKATAN Alumni Tambang (IAT) Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar focus group discussion (FGD) membahas isu-isu strategis industri pertambangan nasional. 

Forum ini melibatkan unsur pentahelix, yaitu akademisi, pelaku usaha, asosiasi, pemerintah, hingga media dengan menitikberatkan pada dua instrumen penting: Harga Batu Bara Acuan (HBA) dan Harga Patokan Mineral (HPM).

Menurut Ketua IAT ITB, Achmad Ardianto, forum ini digelar untuk memperkuat pemahaman para alumni terhadap dinamika industri pertambangan, sekaligus menghasilkan gagasan kebijakan yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.

“Acara ini dilaksanakan agar kita selalu berada di level pemahaman yang memadai sebagai alumni tambang terhadap persoalan industri pertambangan di Indonesia. FGD ini juga diharapkan bisa menghasilkan pemikiran yang dapat kita usulkan kepada para pemangku kepentingan,” kata Achmad pada FGD yang berlangsung di di J.S. Luwansa Hotel & Convention Center, Jakarta pada Jakarta, 2 Oktober 2025 tersebut.

Dalam forum tersebut, salah satu isu yang menjadi sorotan adalah kebijakan HBA dan HPM. Keduanya dinilai memiliki pengaruh besar terhadap arah pengelolaan sumber daya alam, termasuk stabilitas bisnis tambang, penerimaan negara, dan keberlanjutan hilirisasi.

HBA sendiri dinilai sangat strategis karena menjadi patokan ekspor batu bara nasional sekaligus indikator penerimaan negara. Selain itu, Menurut Achmad, tantangan yang dihadapi dalam penerapan HBA dan HPM adalah fluktuasi harga global yang kerap kali tidak sejalan dengan kebutuhan domestik. 

Di sisi lain, kebijakan harga juga harus mampu memberikan kepastian usaha bagi pelaku tambang sekaligus menjamin penerimaan negara tetap optimal.

Data IMA-API.org mencatat, HBA sempat menyentuh US$ 128,24 per ton pada Maret 2025, sebelum turun ke US$ 102,22 per ton pada Agustus 2025. Fluktuasi ini mencerminkan dinamika pasar global yang tidak selalu selaras dengan kebutuhan domestik.

Di sisi produksi, realisasi batu bara Indonesia pada 2024 mencapai 830,48 juta ton, melebihi target 710 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 431,14 juta ton diekspor (±52%), dengan sisanya dialokasikan ke pasar domestik. 

Namun, memasuki Semester I 2025, ekspor turun menjadi 185,98 juta ton, dengan nilai hanya US$ 11,97 miliar, anjlok 21% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (data: Uniad.ac.id). 

Kondisi ini jelas berpengaruh pada penerimaan negara seperti yang disebutkan oleh Achmad. Menurut laporan Kementerian ESDM (2024), total penerimaan dari sektor minerba mencapai Rp 183,4 triliun, di mana sekitar 70% di antaranya disumbang batu bara.

Selain batu bara, HPM juga menjadi sorotan. Kebijakan harga bijih nikel dinilai tidak mencerminkan harga pasar internasional. 

Bloomberg Technoz (2025) melaporkan bahwa dalam dua tahun terakhir, penambang nikel merugi hingga US$ 6,3 miliar (≈ Rp 103,4 triliun) karena penetapan HPM yang lebih rendah daripada indeks Shanghai Metals Market (SMM). 

Di tengah kondisi tersebut, pemerintah menerbitkan PP No. 19 Tahun 2025, yang menaikkan tarif royalti bijih nikel dari 10% menjadi 14–19%. 

Kebijakan ini diharapkan meningkatkan penerimaan negara, meski dikhawatirkan akan menambah beban pelaku usaha bila tidak diimbangi harga jual yang adil.

Meski penuh tantangan, IAT ITB menilai ada peluang besar melalui hilirisasi. Data Badan Pusat Statistik (2023–2024) mencatat nilai ekspor produk nikel olahan  mulai dari feronikel, nickel pig iron (NPI), matte, hingga stainless steel  telah menembus lebih dari US$ 30 miliar per tahun, jauh melampaui nilai ekspor bijih mentah sebelum larangan (sekitar US$ 5–6 miliar per tahun).

“Isu HBA dan HPM ini menyangkut stabilitas usaha, penerimaan negara, dan dorongan hilirisasi. Dengan kebijakan harga yang tepat, kita bisa mendorong tata kelola yang lebih berkeadilan sekaligus memperkuat daya saing global,” tambah Achmad mengutip dari nikel.co.id.

FGD ini menegaskan bahwa kebijakan harga bukan sekadar soal angka, melainkan arah strategis pengelolaan sumber daya alam. 

IAT ITB berkomitmen merumuskan rekomendasi konstruktif yang akan disampaikan kepada stakeholder dan media, dengan tujuan menghadirkan industri tambang yang lebih stabil, berkeadilan, dan memberi manfaat luas bagi masyarakat.

Sumber: Nikel.co.id

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post