RIBUAN buruh, aktivis politik, dan mahasiswa turun ke jalan di Jakarta khususnya di depan gedung DPR dan Istana Negara pada Kamis, 28 Agustus 2025 lalu. Para massa demonstran mengungkapkan kekecewaan besarnya kepada kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat.
Isu memuncak ketika publik terkejut mengetahui bahwa anggota DPR mendapatkan tunjangan rumah sekitar Rp50 juta per bulan, setara dengan sepuluh kali UMP Jakarta, sebuah ketimpangan signifikan dibandingkan ekonomi rakyat jelata.
Para aktivis dan buruh kemudian mengajukan beberapa poin tuntutan, dan paling konsisten diteriakkan adalah penolakan terhadap kebijakan ekonomi yang dianggap membebani rakyat.
Sayangnya, pada demonstrasi besar-besaran itu terjadi insiden tragis, seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas dilindas oleh kendaraan taktis Brimob pada malam harinya di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat. Hal inilah yang memicu kemarahan publik mencapai puncaknya.
Kematian Affan membuat tuntutan demo tidak lagi sebatas soal kenaikan pajak atau tunjangan DPR, tetapi meluas menjadi seruan “Reformasi Jilid II” yang menuntut pembubaran DPR, audit kekayaan pejabat, serta penghapusan kebijakan yang dinilai menindas rakyat.
Aksi solidaritas kemudian berkembang menjadi gelombang protes yang semakin besar dan tidak terkendali, mendorong pemerintah merespons dengan sikap tegas melalui peningkatan status keamanan nasional, pengerahan pasukan TNI-Polri dalam jumlah lebih besar, serta memperketat penjagaan di berbagai gedung vital negara.
Namun, menurut co-founder dari lembaga kebijakan publik ThinkPolicy, Yogi Syahputra (Teknik Pertambangan ’2019), langkah pemerintah ini justru menimbulkan kekhawatiran publik karena dianggap berpotensi besar membuka jalan menuju ancaman darurat militer.
“Skenario terburuk dari kericuhan saat ini adalah Darurat Militer. Darurat Militer adalah opsi paling buruk untuk negara demokrasi dimana supremasi sipil akan sepenuhnya berpindah tangan ke militer,” kata Yogi mengutip dari akun Instagramnya @yogi.syhptrr pada Senin, 1 September 2025.
Yogi yang pernah menjadi aktivis mahasiswa dan Presiden Keluarga Mahasiswa ITB periode 2023/2024 itu beranggapan, Hal ini memungkinkan pembatasan kebebasan sipil, penangkapan tanpa proses hukum panjang, hingga pengendalian penuh ruang publik oleh militer, yang berakibat semakin banyak korban jiwa berjatuhan.
Lewat ancaman darurat militer, kebebasan HAM menjadi dibatasi oleh militer. Kebebasan berpendapat, pers, dan berkumpul dibatasi atau dihapus, dan seluruh media akan dikontrol oleh negara. Konsekuensinya, Indonesia akan berpotensi tidak kembali jadi negara demokrasi dan menjadi rezim militer seperti Myanmar.
Sebelumnya, Darurat militer pernah terjadi di Myanmar pada kudeta 1 Februari 2021 lalu. Fraksi Militer (Tatmadaw) menolak hasil pemilu yang dimenangkan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan merebut kekuasaan, memicu gelombang protes rakyat yang ditindak keras dengan peluru tajam, gas air mata, hingga penangkapan massal.
Dampaknya sangat luas: legitimasi politik runtuh, proses demokrasi terhenti, ekonomi anjlok hingga kontraksi sekitar 18% pada 2021, dan Myanmar terisolasi dari dunia internasional. Menurut laporan PBB, lebih dari 4.000 orang tewas, puluhan ribu ditahan, dan lebih dari 2 juta warga terpaksa mengungsi akibat kekerasan militer. Kondisi ini menunjukkan bahwa darurat militer tidak hanya menghancurkan demokrasi, tetapi juga menimbulkan penderitaan kemanusiaan yang mendalam bagi rakyatnya.
Selain itu, menurut Secretary General lembaga Think Tank, Indonesia Food Security Review (IFSR), Alfatehan Septianta (Teknik Mesin ‘2014) Hal ini merupakanlah skenario terburuk. Oleh karena itu, ia berharap agar ancaman darurat militer janganlah sampai terjadi.
“Ini adalah skenario terburuk,” kata Alfatehan mengutip dari akun Instagramnya @alfatehanseptianta45 pada 1 September 2025.
Jika ancaman darurat militer benar-benar muncul, hal itu dapat dibaca sebagai tanda bahwa legitimasi politik pemerintah RI telah runtuh. Rakyat tidak lagi menaruh kepercayaan pada pemerintah, proses politik dianggap gagal, dan otoritas sipil kehilangan kendali. Aturan sipil akan diganti menjadi aturan militer.
Dalam situasi seperti ini, institusi demokrasi ikut lumpuh karena parlemen, partai politik, maupun mekanisme hukum tidak mampu lagi menengahi krisis. Ketika semua instrumen politik sipil tidak berfungsi, militer kemudian menjadi opsi terakhir yang diandalkan negara untuk menjaga ketertiban.
Dengan demikian, darurat militer menjadi indikator krisis kepercayaan total, ketika kegagalan legitimasi politik digantikan oleh kekuatan koersif.
Latar Belakang Aksi Demonstrasi Massal 28 Agustus 2025
Sebelumnya, selain anggota DPR mendapatkan tunjangan Rp50 juta per bulan, juga beredar klaim terkait tunjangan beras Rp10–12 juta per bulan dan bensin Rp3–7 juta untuk anggota dewan. Hal inilah yang semakin memicu kemarahan publik.
Di satu sisi, rakyat jelata harus menghela nafas panjang, pemerintah sempat merencanakan kenaikan PPN dari 11% ke 12%. Dampaknya harga kebutuhan sehari-hari rakyat otomatis pun ikut membengkak.
Pemerintah dianggap lebih cepat menarik beban ke rakyat kecil dibanding memperbaiki tata kelola dan memangkas privilege elite politik/korporasi. Hal Inilah yang kemudian dinilai menjadi simbol jarak pemisah antara elit dan rakyat.
Selain itu, amarah publik kemudian mencapai puncaknya pada aksi kontroversial politisi anggota dewan berjoget-joget di gedung DPR, seperti Uya Kuya, Eko Patrio, Sadarestuwati, dan Rahayu Saraswati yang viral di media sosial.
Hal ini memperburuk citra elit politik seolah tidak peduli pada krisis beban sosial-ekonomi yang sedang dirasakan rakyat. Kombinasi isu-isu ini menjadi pemantik aksi protes massal di berbagai kota.
Pada demo yang berlangsung 28 Agustus lalu, para aktivis dan buruh kemudian mengajukan beberapa poin tuntutan, dan paling konsisten diteriakkan adalah penolakan terhadap kebijakan ekonomi yang dianggap membebani rakyat.
Hal itu mencakup tuntutan kenaikkan UMP 2026 sebesar 8,5–10,5 %, Reformasi pajak (PTKP naik jadi Rp 7,5 juta, hapus pajak pesangon, THR, JHT, dan diskriminasi pajak terhadap perempuan), Sahkan RUU Perampasan Aset untuk koruptor, dan lain-lain.
Namun, demonstrasi menjadi berujung semakin ricuh. Menanggapi protes massal tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni terkesan seperti antipati terhadap aspirasi warga tersebut. Ia pun memaki para demonstran dengan kalimat kasar.
“Demo kok anarkis, gobl*k! Kalau mau protes, pakai cara elegan dong, jangan merusak fasilitas,” kata Sahroni saat diwawancarai awak media terkait protes tersebut.
Ucapan bernada keras Sahroni ini memicu reaksi balik karena dinilai arogan, apalagi dilontarkan di saat publik sedang marah terhadap kebijakan ekonomi yang tidak pro-rakyat.
Hal Inilah yang menjadi benang merah dari kemarahan publik, akibat beban hidup langsung dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Menanggapi gelombang protes demonstrasi besar-besaran dan perusakan massal fasilitas publik terhadap gaya hidup mewah para wakil rakyat, sehari setelah insiden pada 29 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengeluarkan pernyataan tegas terkait peninjauan ulang kebijakan DPR.
Ia menegaskan bahwa tunjangan rumah bagi anggota DPR resmi dicabut, disusul dengan moratorium perjalanan dinas ke luar negeri sebagai langkah penghematan sekaligus bentuk solidaritas dengan rakyat.
Tidak hanya itu, Prabowo juga menekankan adanya sanksi keras bagi anggota DPR yang dianggap menjadi pemicu amarah masyarakat, termasuk pencabutan keanggotaan yang mulai berlaku efektif sejak 1 September 2025.
“Kemudian para pimpinan DPR menyampaikan akan dilakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI, termasuk besaran tunjangan anggota DPR dan juga moratorium kunjungan kerja keluar negeri,” kata Prabowo mengutip dari situs resmi Sekretariat Negara, 1 September 2025.
Langkah Antisipasi Menghadapi Ancaman Darurat Militer di NKRI
Selain itu, Presiden Prabowo Subianto pernah berujar bahwa ada potensi kemungkinan dugaan makar dan terorisme untuk memecah belah Bangsa Indonesia.
“Namun kita tidak dapat dipungkiri bahwa sudah mulai kelihatan gejala adanya tindakan-tindakan di luar hukum, bahkan melawan hukum, bahkan ada yang mengarah terhadap, mengarah kepada makar dan terorisme,” kata Prabowo di Istana Negara pada 29 Agustus 2025.
Oleh karena itu, agar hal ini tidak sampai terjadi, hal terpenting adalah menjaga ketenangan dan tidak terpancing provokasi. Utamakan keselamatan diri dan orang-orang terdekat, serta hanya ikuti informasi dari sumber resmi yang terpercaya. Jangan mudah termakan hoaks yang justru bisa memperkeruh keadaan.
Selain itu, untuk mengantisipasinya, ada beberapa langkah penting: pertama, pemerintah harus menjaga kepercayaan publik melalui kebijakan yang transparan, adil, dan pro-rakyat. Kedua, dialog politik perlu diperkuat, baik antara pemerintah dengan oposisi, maupun antara negara dengan masyarakat sipil, agar aspirasi tidak tersumbat.
Ketiga, lembaga hukum dan parlemen harus diberdayakan agar tetap berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan. Terakhir, ruang kebebasan sipil seperti media, akademisi, dan organisasi masyarakat harus dijaga agar bisa menjadi kanal penyaluran kritik yang konstruktif.
Kekhawatiran ini membuat isu reformasi bukan lagi sekadar soal ekonomi dan politik, tetapi juga soal masa depan demokrasi di Indonesia. Intinya, sebuah bangsa hanya bisa berdiri kokoh jika pemerintah dan rakyatnya berada di barisan yang sama, saling percaya dan bekerja sama. Inilah langkah yang dinilai tepat untuk menghadapi ancaman darurat militer.
Mampukah pemerintah meredam krisis sebelum ancaman darurat militer benar-benar terjadi?