kiri-kanan: Prof.Tatacipta Dirgantara (MS ‘88) dan drg. Seto Adiantoro Sadputranto, sahabat sejak belia. FOTO: BRILLIANT AWALLUDIN JAYA | ALUMNIA
Kolaborasi antara ahli teknik mesin dan dokter gigi menciptakan inovasi teknologi operasi rahang pertama di Indonesia. Durasi operasi dua kali lebih cepat, biaya operasi lebih murah.
BAIK Seto Adiantoro Sadputranto dan Tatacipta Dirgantara (MS ‘88) tak menduga obrolan santai mereka pada awal 2020 menjadi awal lahirnya inovasi teknologi operasi rahang pertama di Indonesia. Seto dan Tatacipta berkawan karib sejak SMP. Persahabatan itu terus berjalan hingga SMA dan kuliah. Meski keduanya menempuh pendidikan tinggi di universitas yang berbeda dan berkarier dengan profesi yang berbeda, Seto dan Tatacipta masih meluangkan waktu untuk bersilaturahmi.
Seto, dokter gigi dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), sore itu mencurahkan kesulitannya dalam menjalankan operasi ortognatik, tindakan untuk memperbaiki posisi dan struktur tulang rahang. “Kalau mau operasi, saya harus mendesain dulu rahangnya. Rahang atas saya majukan, rahang bawah (saya mundurkan) berapa milimeter, naik berapa derajat,” ujar Seto yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Staf Medis (KSM) Bedah Mulut RSHS, pada awal Agustus lalu.
Di luar negeri, kata Seto, operasi ini lebih mudah karena menggunakan program komputer dalam mendesain. Di Indonesia, operasi ini dilakukan secara manual. Alasannya, programnya mahal. Seto lalu bertanya kepada Tatacipta, “Apa kamu bisa membuat program seperti ini?”
Tatacipta, profesor Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB, menyanggupi permintaan itu. Tentu bukan tanpa perhitungan. Sejak 2007, Tatacipta sudah melakukan sejumlah riset di bidang rekonstruksi gigi, tepatnya prostodontik dan periodontik. Ia juga merintis kelompok riset Biomekanika di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB bersama Andi Isra Mahyuddin (MS ‘80) pada 2008. Tiga tahun setelahnya, Tatacipta membangun Pusat Pengembangan Teknologi Alat Kesehatan bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian.
Seto menjelaskan bahwa salah satu kasus yang membutuhkan operasi rahang adalah gigi cakil (maloklusi kelas III atau underbite). Kasus ini terjadi ketika rahang bawah lebih maju daripada rahang atas. Untuk memperbaikinya perlu dengan memajukan rahang atas dan memundurkan rahang bawah.
Biasanya, dokter merancang posisi dan arah pemotongan rahang atas dan bawah secara manual berdasarkan foto rontgen. Di meja operasi, ini menjadi tantangan bagi dokter karena seringkali rahang digeser hanya dalam hitungan beberapa milimeter saja. Keahlian, ketelitian, dan jam terbang dokter sangat dibutuhkan. Terlebih, ada kemungkinan tarikan otot rahang yang membuat posisi rahang meleset usai digeser.
Kolaborasi tim FTMD ITB dan kelompok staf medis bedah mulut RSHS menghasilkan teknologi wafer yang dicetak tiga dimensi. “Wafer berfungsi sebagai penanda atau dudukan sehingga posisi rahang atas dan bawah menjadi tepat sesuai rencana,” kata Seto. Teknologi ini membantu memastikan pemotongan rahang yang lebih presisi.
Tim peneliti mengembangkan piranti lunak untuk merekonstruksi digital kepala pasien dengan data CT scan. Hasil rekonstruksi itu kemudian dikembangkan agar mampu menunjukkan proyeksi desain akhir kedua rahang dan bentuk wajah pasien pasca operasi. Wafer kemudian dicetak sebagai penanda posisi rahang yang harus digeser, sekaligus penahan posisi rahang selama proses penyambungan dengan plat.

“Wafer ini berfungsi sebagai penanda atau dudukan sehingga posisi rahang atas dan bawah menjadi tepat sesuai rencana.”
Berdasarkan pengalaman Seto, digitalisasi proses perencanaan dapat memotong durasi operasi dari lima jam menjadi 2,5 jam. Dengan tingkat akurasi lebih tinggi, pendarahan pada pasien tidak banyak sehingga tingkat keselamatan meningkat dan waktu penyembuhan lebih cepat. “Tentu, biaya operasi juga ikut berkurang signifikan,” kata Seto meski tak menyebut nilainya.
Ia dan tim RSHS kerap memberikan umpan balik selama proses desain piranti lunak ini. Wafer versi awal, misalnya, masih kasar dan belum terlalu tepat. “Setelah dipelajari, ternyata karena jumlah irisan yang kurang banyak saat pemindaian rahang,” kata Tatacipta.
Kendala lainnya adalah komunikasi: bahasa teknik bertemu dengan bahasa kedokteran. “Kami bicara xyz, dia (Seto) tidak tahu. Yang dia tahu, anterior, posterior, distal. Kami perlu menyatukan kerangka berpikir,” ujarnya. Toh riset di bidang bedah ortognatik ini menghasilkan dua paten mencakup metode dan produk, yakni wafer. Dari sisi keilmuan, publikasi ilmiah terkait riset telah terbit di jurnal internasional.
Pengembangan wafer 3D untuk operasi rahang yang di-kembangkan oleh FTMD ITB merupakan kisah sukses sinergi apik antara universitas sebagai penyedia teknologi dan dokter sebagai pengguna. Sejak awal 2021 hingga kini, sudah lebih dari 40 pasien bedah ortognatik di RSHS menggunakan wafer selama operasi. Sekarang, prosedur tersebut menjadi standar baru di rumah sakit rujukan di wilayah Jawa Barat.
Anggota KSM Bedah Mulut RSHS Bandung, drg. Eka Marwansyah Oli’I merasakan terobosan ini membantu dalam proses operasi. “Kami juga pakai alatnya, sudah sangat presisi. Sebagai operator, (wafer) sangat membantu sehingga kami tidak pusing sewaktu operasi,” kata Eka.
Tim FTMD ITB pernah mempresentasikan proses perencanaan bedah ortognatik, dari rekonstruksi data hingga pembuatan wafer saat Kongres Bedah Mulut Nasional pada 2022. Banyak dokter menyambut antusias. Teknologi ini juga sudah mulai digunakan di rumah sakit selain RSHS, bahkan menjadi percontohan di daerah lain.
Sejauh ini, wafer masih diproduksi menggunakan dana riset dan belum sepenuhnya komersial. Untuk pengembang-an selanjutnya dari segi bisnis, Tatacipta dan Seto mengajak Benny Tjahjono dari Research Centre for Business in Society, Coventry University, UK, melalui program UKICIS (UK – Indonesia Consortium for Interdisciplinary Sciences).
Jasa perencanaan praoperasi dan wafer buatan FTMD ITB sangat potensial untuk dipasarkan, bahkan ke negara tetangga. Menurut Eka, dokter di sana masih menggunakan program yang sudah ada. Proses desain biasanya dilakukan di Jerman atau Australia. Wafer lalu dicetak dan dikirim. Aki-batnya, harga wafer sangat mahal. Dengan kualitas sama, tetapi harga jauh lebih rendah, wafer karya FTMD ITB siap bersaing.

Kiri ke kanan: Andi Isra Mahyuddin (MS ‘80), Satrio Wicaksono (MS ‘03) dan drg. Eka Marwansyah Oli’l
Tatacipta berharap semakin banyak kalangan dokter yang memilih teknologi buatan mereka dibandingkan mengimpor produk luar negeri. “Bila teknologi bisa dikuasai dan dikembangkan di dalam negeri, ketergantungan terhadap produk impor akan menurun,” kata dia.
Data BPS menunjukkan bahwa impor produk farmasi pada 2018 saja mencapai US$991 juta. Angka ini naik lebih dari empat kali lipat pada 2021, saat pandemi menjadi US$ 4.361 juta. Sebanyak 49,3% dari impor produk farmasi didatangkan dari Cina.
Andi Isra mengatakan tanpa adanya kepercayaan dari pengguna dalam negeri, hasil riset universitas hanya akan sebatas desain dan paten, “Tidak pernah terpakai, padahal dunia medis Indonesia membutuhkan pembaruan teknologi.”
Tatacipta dan tim mengharapkan dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan lain agar manfaat wafer dapat dirasakan oleh masyarakat luas, misalnya dengan dimasuk-kan ke dalam skema BPJS kesehatan.
Menurut anggota tim FTMD, Satrio Wicaksono (MS ‘03), wafer 3D baru langkah awal dalam kolaborasi riset antara FTMD ITB dan KSM Bedah Mulut RSHS. Berikutnya, akan dikembangkan pen yang dapat terurai sendiri seiring waktu setelah ditanam ke tulang pasien sehingga ekstraksi pasca-operasi tidak diperlukan lagi. Kemungkinan infeksi akibat logam pun dapat direduksi.
Salah satu produk kelompok riset Biomekanika adalah lutut prostetik (sendi lutut buatan) yang membuat pasien bisa melakukan gerakan salat. Meski merupakan terobosan di bidang ortopedi dan traumatologi, nasibnya tidak seberuntung wafer. Butuh kepercayaan lebih dari tenaga kesehatan untuk menggunakan produk medis dalam negeri.