Dulu Perokok Berat Kini Pelari Ultramaraton

Sri Nurilla F.

AHMAD SHALAHUDDIN ZULFA | FOTO: ISTIMEWA

DI akhir pekan, Ahmad Shalahuddin Zulfa (TI‘94) bisa ditemui di Mozia Loop bersama komunitas BSD Runners. Dia juga bisa ditemui di tengah keramaian 94nesha—komunitas pelari \ ITB angkatan 1994. Namun, jika dia “menghilang” dari rute lari terpopuler di BSD ini, kemungkinan besar Danang–panggilan akrab Ahmad–tengah berlari di gunung, bersepeda melintasi desa terpencil, atau berenang di laut lepas.

Danang kembali rutin berolahraga selama sebelas tahun terakhir. Ketika bersekolah, dia sempat menjadi atlet pencak silat dan masuk pelatnas. Saat kuliah, nilai olaharaganya masih A. Namun, pekerjaan di bidang teknologi informasi dengan jam kerja panjang di depan komputer membuatnya terjebak dalam rutinitas yang tak sehat. Selain tak berolahraga, dia sempat menjadi perokok berat.

“Dulu saya sehari tiga bungkus, rokoknya juga tanpa filter,” kata Danang kepada Alumnia, Agustus lalu. Awal mula perubahan hidupnya menjadi sehat berangkat dari kekhawatirannya terhadap kesehatannya sendiri.

“Waktu itu saya berpikir kalau ada apa-apa. Kena kanker misalnya, saya akan merepotkan keluarga,” ujarnya. Danang jelas khawatir. Ketika itu, ia sudah 20 tahun merokok. “Dada mulai terasa sesak dan sakit,” katanya.

FOTO: ISTIMEWA

Dia lantas memantapkan niat untuk berhenti merokok. Tanpa alat bantu, tanpa proses mengurangi jatah rokok harian. “Dokter saya menyarankan seperti itu. Kata beliau, kalau mengurangi sebatang, tidak akan pernah berhenti,” katanya. Dua-tiga pekan pertama menjadi momen paling berat, tetapi setelah rasa “sakau” itu hilang, Danang tak rindu merokok.

Toh berhenti merokok tak membuat rasa sakit di dada-nya hilang meski sudah dua tahun stop merokok. “Saya merasa sudah kebanyakan dosa dengan paru-paru,” katanya. Barulah saat itu ia mulai kembali berolahraga. Diawali dengan berlari mengelilingi kompleks rumah. Hingga pada salah satu lomba lari, ia bergabung dengan WhatsApp Group G10 Runners—komunitas pelari Ganesha 10, alumni ITB.

Dari berlari 5 kilometer, lalu 10 kilometer, maraton, dan seterusnya. Danang mencatat rekor lari ultramaraton terjauhnya 145 km dari Cirebon ke Purwokerto dalam gelaran Nusantarun 4 pada Desember 2016. Kini Danang bukan hanya pelari, melainkan juga pesepeda dan triathlete.

Pada 2022 lalu, ia menyelesaikan perjalanan bersepeda 1.500 km dalam Bentang Jawa. Lima tahun sebelumnya, Danang meraih juara ketiga dalam Belitung Triarthlon 2017 untuk kategori usia Master.

Di tahun yang sama pula, ia bersama tim mixed relay ITB 94 meraih juara pertama di ajang Ironman 70.3 Desaru Triathlon Malaysia. Ironman triathlon merupakan rangkaian olahraga yang melibatkan berenang sejauh 3,9 km, bersepeda 180 km, dan lari 42 km.

Pada 2021, ia meraih juara pertama untuk jarak 35 km pada Runfor8etter6eneration (2021). “Saya percaya orang bisa bertransformasi menjadi lebih sehat,” katanya.

Transformasi itu bisa dimulai dari diri sendiri, bisa juga dari komunitas. Salah satunya lewat gelaran ITB Ultra Marathon, event lari alumni yang digelar sejak 2017. Dalam event ini, pelari memulai start dari Jakarta dan finis setelah menempuh 180 km di Gerbang Ganesha 10, Bandung.

Uniknya, lomba lari ultra marathon ini tidak hanya berlaku untuk individu, estafet 2 orang (R2) atau estafet 4 orang (R4) saja. Jarak 180 km bisa dituntaskan 16 orang secara estafet (R16). Biasanya alumni dari tiap angkatan dan jurusan di ITB akan membentuk tim dan komunitas lari untuk mengikuti ITB Ultra Marathon—dari yang baru belajar berlari hingga yang lebih lama konsisten berlari. Tak jarang pula ITB Ultra Marathon menjadi pemantik bagi alumni untuk hidup lebih sehat.

Pada 2019, ITB Ultra Marathon diikuti oleh 3.400 alumni dan 220 peserta umum. “Peserta pada tahun itu juga menggalang dana hingga Rp 2,7 miliar untuk dana lestari ITB,” kata Danang yang pada tahun ini menjadi Race Director ITB Ultramarathon.

Pandemi COVID-19 memaksa event ITB Ultra Marathon melakukan penyesuaian. Pada 2020, misalnya, event lari ini beradaptasi menjadi event lari daring. Pada 2021, ditiadakan. Sementara untuk 2022 dan 2023 event ini mengalami perubahan jadwal. Hal yang masih terjadi hingga tahun ini.

ITB Ultra Marathon yang sedianya digelar pada 18-20 Oktober 2024, kembali diundur menjadi 31 Januari-2 Februari 2025. “Demi keamanan dan kenyamanan peserta. Juga agar tidak tumpang tindih dengan agenda pelantikan presiden.” Penundaan ini juga dapat menjadi momen alumni untuk lebih mempersiapkan diri.

Menurut Danang, berlari adalah olahraga yang mudah dan bisa dilakukan setiap orang di manapun. Idealnya, kata dia, berlari dilakukan setidaknya tiga kali sepekan sekitar 30-60 menit. Bagi yang harus berada di kantor pukul 09.00 pagi, berlari bisa dilakukan usai kegiatan spiritual pagi. “Agar dapat vitamin D dari sinar matahari,” kata Danang.

Danang menilai para pelari alumni ITB memiliki karakter yang khas, “Biasanya ambis-ambis (berambisi-red).”

Berolahraga juga memerlukan ilmu, sama seperti be-kerja atau aktivitas lainnya. Jadi, latihan tidak bisa hanya didorong oleh ambisi besar tanpa pemahaman yang benar.

Danang berbagi tips penting bagi para pelari, khusus-nya yang ingin meningkatkan performa. Pertama, penting untuk menilai kemampuan diri sendiri dan tidak terlalu terburu-buru ingin cepat berlari kencang. Dia menyarankan agar peningkatan jarak tempuh tidak lebih dari 10% dari total kilometer mingguan untuk menghindari cedera.

Faktor genetik juga memainkan peran penting. Ada individu yang memiliki genetik yang mendukung performa fisik hingga usia lanjut, tetapi tetap harus berhati-hati, terutama terkait risiko penyakit seperti jantung koroner. “Berlatih dengan metode yang benar, bertahap, dan mengenali diri sendiri adalah kunci untuk berolahraga dengan aman dan efektif,” katanya. ▉

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *