“PLASTIK sejak awal tak pernah bisa lepas dari bahan bakar fosil. Dari ekstraksi minyak, penyulingan, produksi, hingga jadi limbah, semuanya meninggalkan jejak emisi dan racun. Bahkan ketika terurai, ia masih memuntahkan metana yang beracun bagi atmosfer,” kata Torry Kuswardono (TL ’92), Direktur Eksekutif PIKUL dalam diskusi daring LaporIklim (21/08/2025).
Pernyataan itu terasa seperti peringatan keras. Dan kini, data membuktikan betapa seriusnya ancaman itu. Rata-rata orang Indonesia menelan atau menghirup 15 gram mikroplastik setiap bulan. Bayangkan, dalam setahun tubuh kita dijejali hampir 180 gram plastik—setara dengan menelan 36 kartu kredit penuh.
Angka ini menempatkan Indonesia di posisi teratas dunia dalam konsumsi mikroplastik per kapita, menurut studi X. Zhao dan F. You (2024) yang memetakan paparan di 109 negara. Sumbernya bukan hanya makanan laut, tapi juga air minum kemasan, udara perkotaan, garam dapur, hingga wadah plastik sekali pakai yang hampir tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari.
“Setiap siklus plastik melepaskan zat kimia yang berperilaku seperti hormon manusia. Ada yang kita hirup, ada yang kita makan, bahkan ada yang masuk lewat kontak kulit,” jelas Yuyun Ismawati, pendiri Nexus3 Foundation.
Bukti medis kian menguatkan. Mikroplastik sudah ditemukan dalam paru-paru, darah, bahkan plasenta bayi. Studi Villarrubia-Gomez et al. (2024) mengungkap lebih dari 13.000 bahan kimia berbahaya terkait plastik.
Sebagian di antaranya adalah BPA (bisphenols), zat yang kini sudah ada di hampir seluruh tubuh manusia, Phthalates, disebut everywhere chemicals karena bisa ditemukan di hampir semua produk plastik dan PFAS, dikenal sebagai bahan kimia abadi yang sulit terurai bahkan selama puluhan tahun. Dengan kata lain, tubuh manusia kini menjadi tempat pembuangan plastik global.
Ironisnya, ketika warganya sudah menjadi korban terbesar, sikap Indonesia di forum global justru gamang. Sejak 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merundingkan kesepakatan internasional untuk mengakhiri polusi plastik. Namun dua putaran terakhir—Busan (2024) dan Geneva (2025)—berakhir tanpa hasil.
Ahmad Arif, jurnalis Indonesia yang dua kali meliput langsung perundingan, menyebut posisi Indonesia cenderung moderat: tidak tegas menentukan sikap, apakah berpihak pada pembatasan produksi plastik atau tetap mendukung industri.
“Di balik meja perundingan, tarik-menarik kepentingan begitu nyata. Negara-negara produsen minyak menolak pembatasan plastik, sementara negara-negara yang ambisius untuk lingkungan juga keras mendukung pembatasan plastik,” katanya.
Menurut Torry, masalah plastik tidak hanya perlu dikendalikan di hulu melalui regulasi global yang mengikat secara hukum, tetapi juga di hilir dengan mengubah pola konsumsi masyarakat. Pengurangan bahan kimia berbahaya harus dilakukan melalui kebijakan industri yang ketat.
Namun, ia menyesalkan, diskusi kebijakan kesehatan dan lingkungan kerap dilemahkan oleh kepentingan industri. Perlu ada transparansi kandungan bahan kimia dalam produk plastik, termasuk dampaknya bagi kesehatan manusia.
Pada akhirnya, krisis plastik adalah krisis ganda: krisis iklim dan krisis kesehatan. Bila dunia terus menunda, bukan hanya bumi yang kian rusak oleh racun, tapi tubuh manusia—dari paru-paru, darah, hingga generasi yang belum lahir—akan membayar harga paling mahal.***