FOTO: ISTIMEWA
AKHIR September lalu, komunitas Buibu Baca Buku (BBB Book Club) dan Noura Books meluncurkan tiga judul buku Seri Keluarga Panik. Buku bergambar ini berkisah tentang sebuah keluarga yang—seperti judulnya—panik menghadapi krisis iklim.
“Kami ingin ibu-ibu kenal dengan isu krisis iklim melalui buku anak,” kata Puty Karina Puar (GL ’07) pendiri komunitas BBB Book Club kepada Alumnia. Seri Keluarga Panik merupakan salah satu produk dari program Literasi Iklim untuk Ibu, inisiatif komunitas itu. “Buku ini nantinya akan disebarluaskan melalui kegiatan membaca bersama.”
Perempuan, khususnya ibu-ibu, kata Puty, merupakan kelompok masyarakat yang terkena dampak dari krisis iklim lebih dulu. “Kalau harga beras naik (akibat krisis iklim) yang pertama menyadari ibu-ibu,” katanya memberikan contoh.
Tetapi, untuk mengkampanyekan isu iklim kepada ibu juga bukan hal yang mudah. Banyak ibu, kata Puty, menghindar dari isu perubahan iklim. Salah satunya, karena banyak menggunakan jargon yang sulit dipahami.
Pernyataan Puty sesuai dengan penelitian Dialogue Development Asia pada tahun lalu yang menyebut adanya “jarak” antara masyarakat dengan isu perubahan iklim. Terutama karena informasi krisis iklim sering kali menggunakan istilah yang asing dan rumit, yang membuat masyarakat justru semakin abai. Laporan itu juga menyebut bahwa masyarakat salah kaprah memahami perubahan iklim. Hanya sekitar 44 persen (sekitar 39 persen dari populasi) yang mendefinisikan perubahan iklim dengan benar.
Menurut Puty, perubahan iklim dan krisis iklim ini ada-lah isu primer yang sangat berdampak bagi kehidupan seluruh penduduk bumi. “Isu ini dapat diperkenalkan dengan buku fiksi dan ilustrasi yang menarik,” kata Puty. Ia menilai buku anak dapat menjadi cara untuk mendorong ibu memahami krisis iklim. Harapannya, “Ibu yang membacakan buku Seri Keluarga Panik untuk anaknya akan belajar dan tidak jiper duluan dengan isu iklim,” kata ibu dua anak ini.
Keterlibatan Puty dalam isu iklim ini dimulai sejak tahun lalu. Kala itu, Puty terpilih menjadi influencer media sosial yang memperoleh fellowship dari Make Sense Asia untuk mendorong isu perubahan iklim menjadi percakapan populer sehari-hari. Di Instagramnya, Puty memiliki 93,4 ribu pengikut.
Pada 2018, Puty mendirikan klub membaca daring BBB Book Club. Saat ini, komunitas memiliki 2.000 anggota terdaftar dan 43 ribu pengguna dalam jaringan media sosial. Awalnya, komunitas ini merupakan wadah Puty untuk menularkan hobi membacanya kepada lebih banyak orang. Dari tantangan membaca, membaca bersama, diskusi buku, kelas lomba menulis hingga aneka lokakarya dan seminar luring.
Komunitas ini memiliki visi mendorong perempuan, khususnya ibu untuk berpikir kritis. Menurut Puty, menjadi ibu berarti mengambil banyak keputusan yang menentukan keluarga. Karena itu, penting bagi ibu agar terus membaca untuk melatih berpikir kritis. “Dengan membaca, sudut pandang kita akan lebih beragam, perspektif kita akan menjadi luas,” kata Puty yang yang sedang mengenyam studi lanjut di jurusan Sustainable Development University of Sussex.
Puty sempat bekerja sebagai geolog selama lima tahun sebelum fokus berkarier sebagai kreator konten dan illustrator, sesuatu yang sejak lama menjadi minatnya. Ia juga menulis dan menerbitkan buku, antara lain Happiness is Homemade (2018), Komik Persatuan Ibu-Ibu (2018), dan Empowered ME (2021). Buku yang terakhir akan dirilis ulang dalam bahasa Inggris oleh Penguin Random House Southeast Asia pada akhir tahun.
Giat kampanye krisis iklim Puty tidak hanya berhenti pada buku. Baru-baru ini, ia merilis buibubijak.id, platform kolaborasi antara BBB Book Club dengan Think Policy. Dalam platform ini, Puty memperkenalkan enam modul peningkatan kepedulian lingkungan untuk ibu di tingkat keluarga, antara lain, tumbuh kembang dan kesehatan anak, masa depan dan pekerjaan anak hingga udara dan air bersih. “Semuanya less intimidating,” kata Puty.
Modul yang dibuat untuk meningkatkan kesadaran lingkungan ini, ia harapkan dapat mendorong perubahan hingga tingkat kebijakan. “Isu iklim punya banyak hal sistemik. Meskipun sudah ada aksi kecil, area hulu perlu didukung dengan kebijakan,” katanya. “Aksi rumah tangga untuk berhenti memakai sedotan plastik harus diimbangi dengan regulasi untuk pabrik plastik,” tutup Puty. ▉