Oleh: Archita Desia Logiana (KR ’01)*
DALAM proses pemilihan Calon Ketua Umum Ikatan Alumni ITB (IA ITB), saya berkesempatan menyimak langsung ketiga sesi hearing dari para kandidat. Dari sekian banyak paparan program, slide, dan jargon, saya mencoba menangkap satu hal penting: karakter dan orientasi bawah sadar masing-masing calon.
Bagaimana saya menilai orientasi bawah sadar si calon? Salah satu caranya adalah dengan mengamati topik yang paling lama mereka bahas di tengah waktu hearing yang terbatas. Apa yang dibahas lebih lama, itulah fokus bawah sadarnya. Berikut ini kesan dan catatan saya, yang tentu saja bersifat subjektif.
Atep, pebisnis yang pernah bangkrut, tampil beda. Dengan slogan “Cuan Bersama”, ia langsung mendobrak pakem. Dalam konteks IA yang biasanya serius, formal, dan penuh retorika besar seperti pilihan kata “cuan” terasa tidak lazim, bahkan terkesan tidak “ITB banget”. Sebenarnya, Atep bisa saja menggunakan frasa seperti “value capture” atau “rezeki produktif”, tetapi ia tetap memilih kata “CUAN” yang bisa menimbulkan pro dan kontra.
Latar belakang Atep sebagai pebisnis yang sempat bangkrut dan dibantu IA untuk bangkit kembali membentuk pendekatannya yang realistis dan fleksibel. Ia terbiasa dengan medan: tahu kapan harus mendengar, kapan menawarkan solusi, dan kapan cukup mengajak nongkrong dulu.
Dari gaya komunikasi, Atep bisa menjangkau yang senior dan nyambung dengan yang muda. Dengan rekam jejak aktif belasan tahun di IA, ia juga mendapat dukungan cukup besar dari angkatan kami 2001. Ini penting—karena kami tidak hanya butuh Ketua Umum, tetapi juga jembatan komunikasi antara IA dan angkatan kami.
Bagaimana dengan bang Angin, sang pengayom? Saya bertemu Bang Angin dua kali: saat hearing pribadi dan hearing Nusantara. Yang menarik, auranya berbeda di tiap situasi. Di acara formal, bahasanya sangat birokratis dan terstruktur; tetapi saat ngobrol santai di sekre ITB, beliau hangat dan terbuka. Saya pun berpikir, “Ah, Bang Angin benar-benar sosok yang fleksibel di segala situasi.”
Sebagai alumni senior yang sudah belasan tahun aktif di IA, Bang Angin tampil sebagai sosok pengayom. Ia ingin membangun komunikasi dan sinergi lintas generasi, antara lain melalui sistem pemetaan alumni: “Si X angkatan Y ada di gedung Z lantai sekian”—tujuannya untuk memudahkan kolaborasi atau pemberian bantuan.
Niat Bang Angin untuk merangkul jelas terasa, namun gaya kepemimpinannya mungkin belum tentu cocok untuk alumni muda yang terbiasa berpikir lintas struktur dan membutuhkan ruang berekspresi. Saya pribadi merasa akan agak segan menyampaikan ide secara frontal jika beliau memimpin. Aura “Direktur Utama Badan Otorita Borobudur” terasa kuat.
Ada pun Puja, sang edukator hadir sebagai sosok idealis yang menaruh perhatian besar pada pendidikan. Ia adalah seorang edukator dan juga entrepreneur di bidang tersebut. Slide dan paparannya penuh semangat membangun narasi pengetahuan, bahkan ia membawa serta mahasiswa angkatan 2023 dan penemuan teknologi terbaru dari laboratoriumnya.
Citra yang dibangun: intelektual, inspiratif, dan visioner. Timsesnya sangat bersemangat menyuarakan gagasan, namun sayangnya gema semangat ini belum terlalu terasa di angkatan kami, mungkin karena jarak usia dan referensi yang terlalu jauh. Fokus Puja tampaknya lebih mengarah pada angkatan muda. Dan meski tidak salah, IA ITB bukan hanya tentang masa depan, tetapi juga tentang merekatkan masa lalu yang kini tersebar.
Bagi saya, memilih bukan hanya soal program. Saya mencoba melihat ketiga calon ini bukan dari program-programnya (yang hampir semua mencantumkan “kolaborasi”, “penguatan jaringan”, dan “pendataan alumni” dalam format serupa), tetapi dari karakter mereka sebagai pemimpin, karakter yang terbentuk dan ternurture selama belasan tahun.
Setiap karakter kuat dari tiap calon Ketua Umum akan menghasilkan efek tertentu. Tidak ada yang sepenuhnya buruk, namun pasti ada yang terasa mengganjal.
Puja sang edukator akan indah dalam bertutur, tinggi dalam visi, tetapi kadang membingungkan kita sebagai “murid” biasa yang tidak terlalu cerdas. Intelegensinya bagaikan dua mata pisau yang tajam namun fungsional.
Bang Angin seperti pejabat senior yang sangat sopan dan berwibawa: ada rasa aman, namun juga rasa segan. Kita tak selalu tahu apakah sedang berdiskusi atau ditatar. Wibawa ini mengayomi, namun bisa menjadi tembok tinggi bagi cara-cara baru atau kecepatan kerja yang berbeda.
Atep seperti anak nongkrong yang luwes tapi tahu arah: bisa pragmatis, bisa strategis, dan yang pasti—ngobrolnya nyambung. Pertanyaannya: sejauh mana keluwesannya ini bisa menjangkau angkatan yang jauh di atasnya?
Fungsi IA ITB bagi kami alumni angkatan 2001 adalah sebagai penghubung antara kampus dan dunia industri, sekaligus sebagai pengayom, pelindung, dan pemberdaya seluruh alumni. Bagi kami, pemilihan Ketua Umum IA ITB 2025–2029 ini bukan hanya memilih pemimpin, tetapi juga memilih jembatan komunikasi antara IA dan angkatan kami.
Tahun depan kami akan reuni perak—25 tahun. Teman-teman mulai berkonsolidasi kembali dengan harapan-harapan baru. Ketiga calon Ketua Umum IA ITB 2025 memang tidak ada yang sempurna, tapi kita tetap harus memilih. Karena memilih = berjuang. Berjuang untuk kepentingan yang lebih besar di masa depan.
Layaknya memilih pasangan hidup, bayangkan jika kita nanti ada di tim kerjanya. Pilihlah yang kelemahannya bisa kita terima selama empat tahun ke depan—bukan semata program yang manis di atas kertas.
Sejauh mana kita siap berkorban demi menerima kekurangan demi kelebihan seorang Ketua Umum 2025–2029? Sejauh mana kita mau berkorban demi Tuhan, bangsa, dan almamater?
*Opini tidak mewakili sudut pandang redaksi