Kesejahteraan lulusan baru ITB cenderung menurun dalam satu dekade terakhir. Namun, tiga jurusan ini tetap mencatatkan tren positif. Apa rahasianya?
KONDISI pasar tenaga kerja di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Persaingan semakin ketat, sementara peluang kerja formal semakin menyusut. Lulusan baru kini semakin sulit memperoleh pekerjaan, terutama tanpa pengalaman kerja. Namun, data menunjukkan bahwa alumni ITB masih berada pada posisi relatif lebih baik dibanding lulusan perguruan tinggi lain.
“Alumni ITB maksimal enam bulan setelah lulus sudah mendapatkan pekerjaan,” ujar Hafiz Ahmad Azis, Kepala Career Center ITB, dalam wawancara eksklusif bersama Majalah Alumnia edisi ke-4.
Walau demikian, hal itu tidak serta-merta menjamin meningkatnya kesejahteraan. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat kesejahteraan rata-rata fresh graduate ITB cenderung menurun jika disesuaikan dengan inflasi. Fakta tersebut diungkap oleh Puja Pramudya (IF ’06), salah satu calon Ketua Ikatan Alumni ITB, dalam sesi diskusi bersama Alumnia.
“Kalau kita bandingkan data lulusan tahun 2013 dan 2023, terlihat bahwa kesejahteraan alumni justru menyusut. Kecuali untuk tiga jurusan: Teknik Tenaga Listrik, Teknik Informatika, dan Matematika,” kata Puja.
Hal ini diperkuat oleh data Career Center ITB yang menganalisis rata-rata gaji bulanan lulusan baru dari berbagai jurusan. Bila dihitung berdasarkan nilai nominal, memang terlihat kenaikan. Namun, menurut Ivan Harka (IF ’06), jika penyesuaian inflasi ikut dihitung, kenaikan tersebut tidak cukup signifikan.
“Dengan mempertimbangkan inflasi, kesejahteraan sebenarnya stagnan atau malah turun. Hanya tiga jurusan itu yang masih menunjukkan pertumbuhan nyata,” kata Ivan.
Penyebab Utama: Menyusutnya Pekerjaan Formal dan Gelombang AI
Masalah struktural di pasar tenaga kerja turut memperparah situasi ini. Dalam laporan khusus Majalah Alumnia edisi ke-5, mengutip Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dari BPS, terjadi penurunan drastis jumlah pekerjaan formal di dalam negeri. Dari 15,6 juta pekerjaan pada periode 2009–2014, menyusut menjadi 8,5 juta pada 2014–2019, dan hanya tersisa 2,01 juta di 2019–2024.
Selain itu, perkembangan teknologi—terutama Artificial Intelligence (AI)—menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, AI membuat beberapa jenis pekerjaan tidak lagi relevan. Namun di sisi lain, tenaga kerja yang memiliki keterampilan AI justru akan lebih dicari. “Banyak startup bahkan yang sudah didanai luar negeri pun kesulitan mencari programmer dan digital talent,” kata Puja.
Jika terpilih sebagai Ketua IA-ITB, Puja menyatakan telah menyiapkan strategi berbasis pelatihan dan edukasi AI secara sistemik. Fokusnya adalah memberikan pelatihan teknologi AI praktis, bahkan untuk alumni non-Teknik Informatika.
Program pelatihan ini beragam, disesuaikan dengan kebutuhan. Namun, salah satunya adalah tentang Konsep dasar AI & Large Language Model (LLM), Cara kerja model bahasa seperti ChatGPT, Teknologi penting: Machine Learning, Deep Learning, dan Neural Networks, dan Prinsip kerja GPT, prompting, dan infrastruktur pendukung seperti GPU.
“Kami akan membangun gerakan dengan pendekatan berbasis ‘sel’—tim kecil di berbagai kota untuk menyebarkan ‘virus AI’ secara positif,” kata Puja. Rencananya, pelatihan akan dilakukan di 10 kota besar, masing-masing menargetkan 1.000 peserta. Dengan sesi pelatihan rutin sebulan sekali (50–100 orang per sesi), target 10.000 orang terlatih dalam dua tahun pertama dinilai realistis.
Puja sendiri memiliki pengalaman dalam bidang pelatihan IT. Enam tahun lalu, ia mendirikan Yayasan Alkademi, untuk melatih talenta IT muda—khususnya lulusan SMK, D1, atau D3—yang memiliki dasar IT tapi minim pengalaman kerja. Ia menjalankan progam pelatihan ini gratis untuk peserta, dengan mencari pendanaan dari sponsor, grant luar negeri, hingga CSR. Hasilnya, dalam enam tahun terakhir yayasan yang ia bangun telah melatih hampir 31.000 orang secara gratis.
Tiga jurusan S1 yang tetap sejahtera di tengah ketidakpastian ini bukan hanya karena bidangnya sedang naik daun, tetapi juga karena kesiapan alumninya dalam merespons perubahan zaman—terutama kemajuan teknologi.
Dengan gerakan yang lebih sistematis dan inklusif dari Ikatan Alumni ITB, ada harapan besar untuk mendorong jurusan-jurusan lain menyusul ketiga program studi unggulan tersebut.
“Pemahaman AI kini menjadi kunci kesejahteraan tenaga kerja. Alumni ITB punya potensi besar untuk jadi pelopor, bukan sekadar pengguna teknologi,” kata Puja.