Belanda memberikan peluang keseimbangan hidup (work-life balance) bukan hanya untuk warga negaranya, tetapi juga ekspatriat. Pajak dan akses perumahan menjadi tantangan tersendiri.
BAGI Furqon Aji Yudhistira (EL ‘15), keputusan-nya pindah ke Belanda bukanlah pelarian yang direncanakan. “‘Kabur aja dulu’ bukan keinginan, tetapi keterpaksaan,” kata Aji dalam salah satu unggahan di TikTok dan Instagram. Sejak September 2024, Aji resmi menjadi ekspatriat baru di Amsterdam. Di media sosial, ia sering membagikan cerita-cerita kecil dari hidup barunya: pemandangan kota yang tenang, langit yang bersih hingga perjuangan mengangkut lemari melalui tangga melingkar apartemennya.
“Saya pindah karena dorongan istri,” kata Aji kepada Alumnia pada pertengahan Maret. Lima tahun berkarier di LG dan Accenture Indonesia membuatnya dikenal sebagai “si gila kerja”. Waktu untuk bekerja sering kali menggerus porsi yang semestinya bisa dinikmati bersama keluarga.
Ketika sang istri, Isya Anggita, melanjutkan studi ke Belanda, Aji mencoba peruntungan dengan melamar ke ratusan perusahaan di negeri kincir angin. Ia cukup terkejut saat menjalani tes wawancara.
Di Indonesia, pelamar harus menjual diri dengan sederet pencapaian. Di Belanda, “Mereka banyak bertanya soal budaya kerja,” ujarnya. Proses panjang itu akhirnya membawa-nya kembali ke Accenture, tetapi kali ini di Belanda.
Amsterdam menjadi titik balik hidup Aji. Di kota ini, anak pertamanya lahir. Ia juga mengenal sistem kerja yang lebih manusiawi. “Di sini, karyawan digaji per jam. Lembur juga dibayar,” katanya. Sebagai ayah baru, Aji mendapat cuti dua bulan penuh dari kantornya.
Di Den Haag, Vincent Fidelis Setiawan (GL ’15) menjalani pekerjaan yang fleksibel. Sebagai cost engineer, ia bisa bekerja dari mana saja. Saat diwawancara Alumnia, ia beberapa kali meminta izin mengangkat telepon dari kantornya. Vincent tiba tiga tahun lebih awal daripada Aji. Ia membawa dua beasiswa (dari pemerintah Belanda dan University of Twente) untuk studi master manajemen energi dan lingkungan.
“Bekerja di perusahaan perangkat lunak di Belanda bisa hybrid, bisa dari rumah,” ujarnya. Sebelum berangkat, ia sempat bekerja di industri tambang dan LAPI ITB. Namun, jalannya berkarier di Belanda tak mudah. Enam bulan sebelum lulus pendidikan master, ia mulai melamar kerja. “Saya melamar ke banyak perusahaan sebelum dapat kerja,” katanya sambil tertawa kecil. Kesempatan wawancara kerja juga tak besar, kata dia, mungkin hanya 5% dari 20 lamaran.
Cerita lain datang dari Panji Wicaksono (SBM ’09) yang kini tinggal di Amsterdam. Ia tiba di Belanda pada 2019 untuk mengambil master di TIAS School for Business and Society. “Waktu itu pilihannya antara pindah kerja atau kuliah. Saya ambil studi dulu,” katanya. Pandemi yang melanda setahun kemudian justru membuka pintu karier: posisi Pricing Manager di Caterpillar Belanda yang lama tak terisi akhirnya menjadi miliknya.
Kini, setelah empat tahun, Panji menempati posisi yang sama di Elsevier—perusahaan media yang bergerak di bidang penerbitan jurnal ilmiah dan data analitik, salah satunya platform digital ScienceDirect.
Ketiganya—Aji, Vincent, dan Panji—punya cerita berbeda soal alasan meninggalkan Indonesia. Tapi, mereka sama-sama memahami mengapa tagar #KaburAjaDulu ramai di media sosial. Bagi mereka, itu bukan ajakan ceroboh, mela-inkan suara keresahan masyarakat yang sayangnya malah dianggap remeh.
“Kami memang second class di sini. Yang penting hidup tenang, punya waktu buat keluarga, dan bisa kirim sisa gaji ke kampung,” kata Aji yang berasal dari Ciamis menanggapi komentar pejabat Indonesia.
“Tidak pantaslah pejabat publik mengatakan, ‘Kabur aja, tak usah balik lagi’. Orang sedang tersulut begitu, mereka siram minyak,” kata Vincent menambahkan. Ia menilai banyak pejabat keliru mengartikan migrasi sebagai bentuk inferioritas. “Bukan cuma buruh kasar yang merantau. Banyak juga yang mengisi posisi strategis,” katanya.
Panji menambahkan, “Di Indonesia, banyak lulusan S3 yang ilmunya sulit diterapkan karena teknologi kita tertinggal dan lapangan kerja terbatas. Di luar negeri, kesempatan lebih terbuka.” Aji sepakat. Ia percaya migrasi bukan pelarian, tapi keputusan besar yang butuh perencanaan matang. “Jangan sekadar ‘kabur’. Harus ada strategi,” ujarnya.
Meski menawarkan hidup yang lebih seimbang, Belanda tetap punya tantangan. Pajak, misalnya. “Gaji tinggi, tapi pajaknya juga bisa sampai 49,5% untuk penghasilan di atas 73 ribu euro per tahun,” kata Panji. Belanda masuk daftar sepuluh negara dengan pajak tertinggi di Uni Eropa.
Untungnya, ada skema pengembalian pajak dan diskon khusus untuk ekspatriat. “Ada juga program pajak 30% buat highly skilled migrant,” ujar Aji. Fasilitas publik yang lengkap juga membuat pembayar pajak tak perlu mencari tahu penggunaan pajak mereka. “Saya tak mencari tahu karena pembangunan selalu ada. Manfaatnya terasa,” kata Panji.
Soal tempat tinggal, Panji menyebut mencari apartemen di Belanda “gila-gilaan”. Vincent sepakat, sistem perumahannya lebih memihak warga lokal. Biaya sewanya juga tak murah.
Dalam konten Instagram “Belajar Semenit”, Vincent tak membantah bahwa harga Rp20 juta per bulan untuk apartemen satu kamar terbilang murah. Juga jangan lupakan biaya listrik yang melonjak sejak perang Ukraina-Rusia.
Meski begitu, belum ada satu pun dari mereka yang berencana pulang. Aji tengah mengusahakan status permanent resident yang akan memberinya hak-hak hampir setara dengan warga negara Belanda. Panji tidak tertarik pindah kewarganegaraan, tapi nyaman tinggal di sana. Vincent pun masih ingin menetap beberapa tahun lagi.
Yang membuat mereka betah bukan hanya karier dan penghasilan, melainkan juga rasa aman, sistem yang jelas, hak-hak pekerja yang mudah diklaim, dan kesempatan yang lebih luas. “Saya belum pernah mengalami perlakuan negatif atau rasisme di sini,” kata Vincent. Dengan banyaknya imigran dan penggunaan bahasa Inggris yang luas, beradaptasi di Belanda terasa lebih mudah.
Ikatan Alumni ITB Netherlands juga guyub merangkul para alumni. Mereka kerap menggelar pertemuan. “Di grup WhatsApp-nya saja ada sekitar 420 orang alumni,” kata Panji, salah satu leader tim komisariat organisasi alumni itu.
Hidup mungkin tidak lebih mudah di luar negeri. Namun, bagi Aji, Vincent, dan Panji, hidup di Belanda terasa lebih masuk akal—lebih setara, lebih seimbang.