KLB IA-ITB kembali digelar pada Juni 2025. Akankah organisasi berbenah atau mengulang janji?
DENGAN malu-malu, R mengungkapkan rencananya melanjutkan studi S2 ke Jerman. R, alumni muda, itu memutuskan resign usai empat tahun bekerja di bank nasional demi mimpinya menempuh pendidikan ekonomi. Ia sudah mendapat panggilan dari kampus di Jerman. Tabungannya cukup untuk bekal awal studi. Namun, pelemahan rupiah membuat dananya tak lagi mencukupi untuk membayar deposit hidup di sana. Selisihnya lumayan besar—hingga puluhan juta rupiah.
R pun mencari kontak IA-ITB yang ia harap bisa membantunya. Nomor yang ia temukan justru milik penulis, tertulis di halaman depan situs IA-ITB Jakarta. Uniknya, pengalaman ini mirip dengan kondisi penulis saat hendak S2 dulu.
Pada 2010, penulis menerima beasiswa Manajemen Bencana di UNHAN. Meski menarik—karena menanggung biaya kuliah dan dua kali perjalanan studi—beasiswa ini tak mencakup biaya hidup, padahal menuntut komitmen penuh waktu.
Situasi ini menyulitkan, terutama bagi mahasiswa yang sudah berkeluarga. Ketika itu, ada empat alumni ITB angkatan yang bernasib sama, dan seperti R, yang terlintas pertama adalah mengontak IA-ITB. Dua kisah ini menegaskan pentingnya peran IA-ITB sebagai tempat bernaung dan meminta dukungan bagi para alumni.
Sejak didirikan pada 1–3 Maret 1969, IA-ITB bertujuan mewadahi alumni agar berkontribusi pada masyarakat, sekaligus mempererat jejaring antar alumni dan hubungan dengan almamater. Seiring waktu, organisasi ini mengalami pasang surut. Perubahan besar terjadi pada 1998, ketika sistem pemilihan ketua beralih dari perwakilan menjadi one man, one vote. Ir. Cacuk Sudarijanto menjadi ketua terpilih pertama dengan sistem ini.
Selanjutnya, jabatan ketua diisi oleh tokoh nasional: Laksamana Sukardi (SI ‘75), Hatta Rajasa (TM ’73), Sumaryanto Widayatin (SI ‘74), Sawaluddin Lubis (GF ’90), Ridwan Djamaluddin (GL ‘82) hingga Gembong Primadjaja (MS ’86). Meski memperkuat legitimasi, pemilihan langsung memunculkan dinamika baru. Partisipasi alumni meningkat, tetapi kritik tetap mengemuka.
Banyak alumni merasa kurang dilibatkan, informasi program tidak menyebar luas, bahkan majalah resmi IA-ITB, Forum Alumni, berhenti terbit sejak 2009. Website dan kanal digital pun kerap tak terkelola.
Ada juga kritik terhadap sistem pemilu langsung yang menciptakan jarak antar kandidat usai pemilihan, bahkan luka yang terbawa hingga akhir periode. Isu lain adalah ke-san elitis karena jabatan ketua sering dipegang pejabat publik yang sibuk. Namun, sebagian kalangan menilai penting-nya tokoh nasional untuk membuka akses strategis organisasi.
Dialektika ini memunculkan wacana alternatif sistem pemilihan. Setelah dua kali hanya menjadi wacana di kongres sebelumnya, Rakernas IA-ITB 2024 secara resmi meng-usulkan evaluasi sistem ini. Dalam Kongres Luar Biasa (KLB) pada Maret 2025, Hariyono ‘Kribo’ (IF ‘85), ketua tim konsinyering membahas perubahan AD/ART dan opsi kembali ke sistem perwakilan atau musyawarah mufakat. Namun, keputusan soal mekanisme pemilihan ditunda, mengingat dampaknya yang signifikan. Untuk Kongres XI pada Juni 2025, sistem one man, one vote masih akan digunakan.
Respon terhadap wacana ini beragam. Kalangan muda cenderung menolak, menyebutnya kemunduran. Alumni senior seperti Denda Alamsyah (GD ‘91) dan Khalid Zabidi (SR ‘93) juga mengkritik wacana tersebut karena dikhawatirkan menyingkirkan suara alumni arus bawah.
Terlepas dari itu, Kongres Nasional IA-ITB yang segera digelar kembali menjadi ajang refleksi. Mampukah organisasi ini bertransformasi dan menjawab tantangan zaman? Atau, akankah kritik berulang hanya menjadi rutinitas empat tahunan yang berlalu tanpa perubahan berarti?
Jawabannya kembali pada kita, para alumni. Masyarakat luar menanti lulusan ITB yang bukan hanya pandai berwacana, tetapi juga bisa memberikan kontribusi nyata bagi bangsa yang tengah menatap masa depan dengan harap dan cemas.
Penulis: Ardian P. Putra (Sekretaris Eksekutif IA-ITB Jakarta).