MASA jabatan Gembong Primadjaja (MS ‘86) segera berakhir, tetapi jejak kepemimpinannnya masih terasa. Ia menempatkan IA-ITB sebagai simpul sosial yang aktif, bukan sekadar nama dalam struktur. Ia membuktikan bahwa organisasi alumni bisa hidup dan berdampak jika dikelola dengan hati dan visi kolektif.
Kini, tongkat estafet siap diserahkan. Siapa pun pene-rusnya, jalan sudah dibuka lebar. Tinggal bagaimana ia melangkah dan terus menghubungkan titik-titik alumni yang tersebar di penjuru dunia.
Gembong Primadjaja mengambil langkah besar ketika mencalonkan diri sebagai Ketua Umum IA-ITB empat tahun lalu. Ia percaya bahwa organisasi alumni ini bisa menjadi lebih dari sekadar wadah nostalgia, tetapi menjadi rumah bersama tempat alumni saling menguatkan dan memberi dampak.
“Organisasi alumni itu rumah bersama,” ujarnya dalam wawancara tertulis dengan Stanno Yudha Putra dari Alumnia, awal Mei lalu. “Saya melihat masih banyak yang bisa kita lakukan agar IA-ITB lebih optimal, lebih aktif, dan benar-benar jadi rumah bagi para alumni.
Itu yang mendorong saya maju.” Masa kepemimpinannya dimulai di tengah badai pandemi.
Bukan waktu yang mudah, tapi Gembong dan timnya berhasil mengaktifkan jaringan alumni untuk membantu program vaksinasi nasional hingga menjangkau 1,4 juta suntikan. Di masa-masa krisis, IA-ITB tampil sebagai kekuatan sipil yang sigap dan peduli.
Namun, memimpin bukan tanpa tantangan. Waktu, konsistensi, dan keragaman pemikiran para alumni menjadi ujian tersendiri. Gembong menjawab semua itu dengan pendekatan langsung: hadir di berbagai kegiatan, membina koneksi personal dengan alumni di berbagai daerah dan luar negeri, bahkan menguatkan eksistensi IA-ITB North America yang kini menjadi organisasi resmi di Amerika Serikat.
Berikut ini petikan wawancara Gembong Primadjaja setelah proses penyuntingan:
T: Apa yang mendorong Anda maju sebagai ketua umum pada 2021?
J: Saya merasa IA-ITB adalah rumah bersama bagi alumni. Saat itu, saya melihat banyak potensi yang belum tergarap. Organisasi ini bisa lebih aktif dan optimal dalam merangkul semua alumni.
T: Ada dana kampanye? Strategi komunikasi?
J: Ya, ada dana kampanye dari dana pribadi. Saya merasa sudah waktunya memberi kembali pada almamater dan para alumni, membayar kembali berbagai manfaat yang saya dapat sebagai alumni ITB. Untuk strategi, saya dibantu sejumlah teman, termasuk Deddy Rahman (FT ‘90).
T: Proses pencalonan Anda dibandingkan dengan kontestasi politik lainnya seperti seperti apa?
J: Tentu berbeda. Ketua IA-ITB tidak mengelola anggaran publik seperti pejabat negara. Tapi, tantangannya tetap besar karena harus mampu menginisiasi kegiatan dan merangkul semua kalangan alumni.
T: Apa saja program andalan selama masa kepemimpinan Anda?
J: Program utama adalah Connecting the Dots. Tujuannya menyambungkan para alumni dalam berbagai kegiatan: olahraga, seni, budaya, dan keagamaan. Kita adakan turnamen, festival musik, halal bihalal, hingga “Pulang Kampus”. Semua bertujuan membangun semangat dan kolaborasi.
T: Apa jejak perubahan yang Anda tinggalkan?
J: IA-ITB kini lebih terbuka. Ketua tidak lagi eksklusif. Saya berusaha hadir di kegiatan alumni dari berbagai komisariat, jurusan, hingga luar negeri. IA-ITB menjadi fasilitator, bukan hanya simbol.
T: Tantangan utama dalam memimpin IA-ITB?
J: Waktu dan fokus. Ini pekerjaan tanpa gaji, tapi menyita waktu besar. Saya persiapkan diri dengan menata ulang bisnis pribadi agar bisa fokus. Tantangan lain adalah menjadikan berbagai pemikiran alumni yang sangat beragam. Kunci-nya: dekati satu per satu menggunakan pendekatan personal bangun pondasi, dan perkuat pengurus daerah dan luar negeri seperti IA North America, yang paling jauh dari ITB.
T: Apa program yang belum sempat terlaksana? Apa kendala atau alasannya?
J: “Alumni Finance Alumni”. Gagasannya bagus. Alumni membantu pembiayaan usaha alumni lain, tapi implementasinya belum optimal karena masih ada gap antara proposal bisnis dan eksekusi business matching.
Kami coba kerja sama dengan perbankan, pemerintah, dan fintech, tapi belum maksimal.
T: Bagaimana proses perubahan AD/ART yang terjadi di masa Anda? Mengapa hal ini penting bagi masa depan organisasi?
J: Karena tantangan organisasi selalu berubah. AD/ART perlu disesuaikan agar IA-ITB bisa lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan alumni hari ini.
T: Menurut Anda, peran seperti apa yang seharusnya dimainkan organisasi alumni seperti IA-ITB dalam pembangunan nasional saat ini?
J: Harus aktif menyumbang gagasan dan tenaga. Kita punya banyak alumni yang bisa membantu menyelesaikan persoalan bangsa.
T: Apakah IA-ITB pernah terlibat dalam penyampaian policy brief atau masukan kebijakan kepada pemerintah?
J: Betul, IA-ITB terlibat aktif dalam menyampaikan berbagai kebijakan kepada pemerintah. Salah satunya adalah terkait dengan isu transisi energi sebelum fase energi terbarukan.
T: Dalam situasi krisis seperti pandemi atau bencana, bagaimana IA-ITB bergerak? Apakah ada bentuk respon cepat dari alumni?
J: Kami langsung ambil peran. Saat pandemi, kami jalankan program vaksinasi hingga 1,4 juta suntikan—bekerja sama dengan berbagai pihak. Bukan hanya untuk alumni ITB saja, tetapi juga masyarakat luas.
T: Bagaimana Anda melihat pentingnya alumni ITB untuk terlibat dalam technocracy atau kepemimpinan berbasis keilmuan di pemerintahan dan sektor publik?
J: Sangat penting. Kami dorong lewat forum-forum diskusi strategis dan dukungan kepada alumni yang ada di pemerintahan atau BUMN. Pengetahuan harus jadi pijakan utama kebijakan publik.
T: Apa pesan Anda bagi Ketua IA-ITB berikutnya?
G: Luangkan waktu. Bentuk tim yang solid. Ini bukan kerja jangka pendek, tapi maraton empat tahun. Butuh dedikasi dan kerja kolektif.