Daud Nugraha menciptakan Desa Timun, dunia wayang baru yang menggemaskan dan sarat makna. Warisan budaya bisa tampil segar dan mendunia, tanpa kehilangan akarnya.
PANAS terik Kota Tua Jakarta tak menyurutkan antusiasme seratusan orang untuk berkumpul di Museum Wayang awal Maret lalu. Di hadapan mereka terhampar layar putih. Pelajar berseragam putih abu-abu duduk lesehan di barisan depan, diikuti sejumlah keluarga dan tamu undangan di belakangnya.
Usai senam kecil yang membangkitkan tawa, pertunjukan pun dimulai. Penonton diperkenalkan pada tiga anak Kancil: Cila, Cili, dan Cilo dari kampung rekaan bernama Desa Timun. Ketiganya penuh rasa ingin tahu, suka bermain, dan gemar bertualang. Mereka tampil dalam bayangan khas wayang kulit: hitam legam dengan latar krem kecokelatan, lengkap dengan cempurit dan gapit yang tampak samar.
Namun, ini bukan pertunjukan wayang biasa. Wajah ketiganya penuh ekspresi khas animasi—tertawa lebar, menangis deras hingga manyun karena kesal. Serial Desa Timun yang diproyeksikan di layar itu adalah produksi Studio Aniwayang, rumah animasi yang memadukan teknik wayang tradisional dengan sentuhan digital modern.
Studio ini resmi berdiri pada 2021, didirikan oleh Daud Budi Surya Nugraha (DKV ’01), tetapi benihnya telah tumbuh jauh sebelumnya. “Dongeng Kancil dan Timun Mas itu dua dongeng favorit saya,” kata Daud kepada Alumnia sebe-lum pertunjukan. “Saya juga sejak kecil suka makan timun, sampai pernah dijuluki Raja Timun,” ujarnya sambil tergelak.
Lahir dan besar di Yogyakarta, Daud akrab dengan dunia pedalangan. Ia juga penggemar komik dan anime Jepang. Dua dunia ini kemudian menyatu dalam karyanya. Wayang pertama ciptaan Daud lahir pada 2015, hasil eksperimen papercraft bersama sang istri, Ricca Virria. Namun, prototipe Desa Timun baru rampung pada 2020, dikerjakan di sela pekerjaan purnawaktunya di studio animasi Malaysia dan Tiongkok.
Pandemi menjadi titik balik. Daud mulai serius membentuk tim animasi untuk Desa Timun. Ada pengisi suara, storyboard artist, animator, editor hingga komposer. Bersama timnya, Daud bereksperimen dengan beragam teknik. Dari lampu dan OHP untuk memunculkan bayangan sampai penggunaan animasi digital untuk semakin menghidupkan bayangan. “Kami ingin memadukan kekuatan manual dan digital agar terasa menyatu,” ujarnya.
***
Kembali ke Museum Wayang. Setelah tayangan video animasi berakhir dan penonton bertepuk tangan, lampu diredupkan. Kini giliran pertunjukan langsung: Cila, Cili, dan Cilo tampil dalam versi wayang kulit sepenuhnya. Suasana-nya tetap meriah. Suara para dalang bersahutan dari balik layar. Bayangan potongan timun dan sayuran dilempar dari
balik layar, mengundang gelak tawa. Lagu tema Desa Timun pun diputar, menambah semarak pertunjukan.
Wayang kulit Desa Timun adalah pertunjukan keluarga. Daud dan Ricca mendalang bersama dua anak mereka, Carmen dan Hiro. Tak hanya di balik layar, keterlibatan keluarga juga terasa di setiap jejak kreativitas Daud. “Anak-anak bantu mengisi suara dan memberi ide karakter baru,” ujar Daud. Ricca bertanggung jawab atas produksi dan keuangan. Sementara itu Daud menjadi sutradara dan penulis cerita.
“Pertunjukan ini ruang kami untuk bermain dan bercerita sebagai keluarga,” kata Daud. Ia percaya, tradisi bisa diwariskan lewat kegembiraan, baik dirumah maupun di ruang publik. Di akhir pertunjukan, Daud bahkan mengajak penonton untuk mencoba mendalang. Beberapa pelajar terlihat antu-sias menirukan suara Cili yang cerewet. “Kalau bukan kita yang mengenalkan wayang ke anak-anak, siapa lagi?” ujar Daud.
Tahun 2022, Desa Timun menjadi nomine Film Animasi Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia. Kini, gaungnya melintasi batas negara. Serial ini pernah tampil di Amerika Serikat dan India, dan tahun lalu hadir di Jepang. Tepatnya dalam perhelatan Festival Film Internasional Kineko 2024 di Tokyo.
Anak-anak Jepang menyaksikan serial ini dengan sulih suara dari seiyuu (pengisi suara) profesional. NHK World Japan menyebut Desa Timun sebagai “pertemuan antara warisan budaya Indonesia dan teknologi animasi modern.”
Bagi Daud, inspirasi cerita datang dari mana saja. Pengalamannya mengajar di Sekolah Minggu dan Rumah Belajar Semi Palar Bandung (2014–2015) sampai tontonan anak-anaknya, seperti Peppa Pig, membentuk dinamika cerita.
Di Desa Timun, ada Cila si sulung yang sabar, tetapi sensitif; Cili si tengah yang aktif dan doyan makan; serta Cilo si bungsu yang terobsesi dengan bola. Setiap episode selalu menyelipkan kalimat khas: “Aku ada ide!”—ajakan eksplisit agar anak-anak berani berimajinasi.
Ayah Cila, Cili, dan Cilo tak lain adalah si Kancil dalam dongeng klasik. Namun, ia bukan Kancil pencuri timun yang nakal. Ia adalah korban perubahan lingkungan, yang kadang-kadang terlalu banyak bicara. Bukan hanya dongeng Kancil, Daud juga menulis ulang dongeng Timun Mas dalam animasi Buto Ijo dan Emas. Raksasa buruk rupa itu digambarkan se-bagai makhluk lugu yang ingin berteman. Daud ingin menan-tang stereotip lama tentang sosok protagonis dan antagonis.
“Cerita rakyat bisa dikisahkan ulang agar lebih relevan,” kata Daud. “Saya ingin mengemas ulang tradisi dengan keimutan lokal.” Hingga artikel ini ditulis, serial Desa Timun telah mencapai 48 episode dalam dua musim tayang di Indonesiana.TV, platform milik Balai Media Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan RI.
Di luar semesta Desa Timun, Daud juga menciptakan Tumtum—maskot paviliun Indonesia untuk World Expo 2025 di Osaka. Sosoknya terdiri dari tiga kuntum bunga dengan motif batik Truntum, tenun Toraja, ukiran Asmat, dan songket Minang. “Saya ingin membuat simbol yang mekar dari budaya Indonesia, seperti harapan yang bersinar,” ujarnya. Ia juga tengah mengembangkan animasi baru Kustinah, si tikus tanah petualang.
Sementara itu, jagat Desa Timun bakal terus berkem-bang: musim ketiga serial ini segera hadir, diikuti album musik di Spotify, buku cerita, serta batik dan cendera mata bertema Cila, Cili, dan Cilo. Dari ruang bermain keluarga hingga panggung global, Daud membuktikan bahwa tradisi dan inovasi tidak bertentangan. Mereka hanya menunggu untuk ditemukan kembali dan dikenalkan pada dunia.