Jika Taman Kota Tak Boleh Tidur

Ina Rakhma

Jakarta berencana membuka taman kotanya selama 24 jam. Pendapat publik terbelah.

MALAM sudah turun di Taman Lapangan Banteng. Waktu menunjukkan pukul 20.00 dan taman itu sedang tak tidur. Di bawah Tugu Monumen Pembebasan Irian Barat, air mancur mengalir dengan pencahayaan warna-warni. Gerakannya seolah menari mengikuti irama musik. Sebab, tak jauh dari air mancur ikonik itu, puluhan orang berbaur di tengah lautan cahaya dan dentuman musik yang semakin kuat dari panggung Jakarta Beat Society 2025.

Di antara instalasi seni dan stan kuliner, pengunjung bersantai, menari, dan menyatu dalam suasana yang lebih mirip festival budaya daripada ruang publik biasa. Inilah wajah baru taman kota Jakarta di masa mendatang: bukan sekadar ruang hijau, tapi pusat pertemuan warga, ruang ekspresi, dan panggung kehidupan urban.

Terletak di jantung Jakarta Pusat, Lapangan Banteng adalah satu dari sedikit taman kota yang dibuka selama 24 jam. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung (TA ‘82) menyampaikan rencananya membuka taman 24 jam. Para jajarannya menyebut kebijakan ini mulai berlaku saat peringatan Hari Ulang Tahun Jakarta ke-498 pada 22 Juni 2025.

Pramono menjelaskan bahwa rencana ini merupakan ba-gian dari upaya menekan aksi tawuran oleh anak-anak muda. “Tawuran merupakan hal yang menjadi perhatian kami. Salah satu faktornya adalah yang namanya anak-anak muda yang energinya berlebihan ini memerlukan tempat untuk berekspresi,” ujarnya seperti dikutip Detik (20/04/2025). Ia ingin taman kota menjadi ruang aman untuk aktivitas positif.

Ada lima taman lain yang masuk dalam daftar taman yang tak boleh tidur, yaitu Taman Langsat, Taman Ayodya, Tebet Eco Park, Taman Menteng, dan Taman Literasi Martha Tiahahu. Rencana ini menuai pujian sekaligus penolakan. Setidaknya dari warga Tebet.

Sepuluh kilometer dari Taman Lapangan Banteng berdiri Tebet Eco Park, taman yang luas, hijau, dan dianggap sebagai salah satu yang terbaik di Jakarta. Ada Infinity Link Bridge dan jogging track asri sepanjang 1,7 kilometer yang menjadi magnet kedatangan warga. Usai diresmikan, taman ini sempat mengalami ledakan pengunjung hingga 16 ribu dalam sehari, melebihi kapasitas—bukti bahwa Jakarta membutuhkan ruang terbuka yang cantik dan gratis.

Warga Tebet menjadi yang terdepan dalam menolak rencana pembukaan taman di wilayah tempat tinggal mereka selama 24 jam. Mereka menggelar dialog dengan gubernur. Hasil dari pertemuan itu adalah pembatasan jam operasional taman. Dari pukul 06.00 hingga 22.00.

Senin pagi pada akhir April, sekitar pukul 09.00, sinar matahari menyelinap lembut di antara dedaunan Tebet Eco Park. Taman yang terhampar seluas tujuh hektare di jantung Jakarta Selatan itu dipenuhi kehidupan—anak-anak meluncur riang di playground, sepasang lansia berjalan perlahan menyusuri jogging track, dan para petugas kebersihan sibuk menyapu dedaunan basah sisa embun malam.

Di sudut lain, Andrean (20), warga Tebet, tengah membuka laptop sambil duduk di bangku kayu dekat Community Lawn. “Tempat ini adem banget buat ngerjain tugas. Saya sering ke sini dari dulu,” ujar mahasiswa Universitas Indraprasta itu sembari tersenyum. “Secara pribadi saya setuju aja sih kalau taman dibuka 24 jam. Kadang bingung juga mau ke mana kalau malam,” ujar Andrean. Namun, ia juga tak menampik bahwa mayoritas warga Tebet menolak.

“Dulu pernah ada pencurian, coret-coret pagar, bahkan tawuran pakai celurit dan stik golf,” kata Tio Armanto, petugas keamanan taman, menyebut beberapa alasan penolakan warga.

Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di Blok M juga menjadi contoh ruang publik baru yang ciamik. Di siang hari, taman ini seperti oase—lahan hijau yang menyatu dengan bangunan berarsitektur landscraper, dihiasi kolam teratai, amfiteater, dan rooftop untuk menikmati pemandangan kota. Namun, saat matahari mulai tergelincir, suasana berubah. Mulai pukul 4 sore hingga malam, taman dipadati berbagai tipe pengunjung: keluarga, pelajar, bahkan pekerja kantoran yang singgah sebelum pulang. Apalagi taman ini mudah diakses Transjakarta dan MRT.

Awan (18), pelajar dari Tangerang, tengah duduk di sudut taman setelah menyelesaikan UTBK di Depok. “Saya baru saja kehilangan jam tangan habis wudu. CCTV enggak bisa menjangkau area itu,” katanya, “Saya suka taman ini. Tapi, kalau keamanan belum maksimal, ya saya masih ragu,” ujarnya pada Senin siang.

Mumtaz (21), mahasiswa Geografi UI, merasa pembatasan waktu justru mengurangi kebebasan berekspresi. “Kejahatan memang bisa terjadi kapan saja, tapi bukannya lebih baik kita tambahkan CCTV dan penjaga daripada membata-si jam buka?” tanyanya.

Ketegangan antara kebutuhan ruang publik dan persoalan keamanan bukan hal baru. Tapi, yang berbeda kini adalah skala dan bentuknya. Taman bukan lagi sekadar ruang hijau pelengkap, tapi arena baru dalam pembentukan wajah kota. Pengamat tata kota Yayat Supriatna (PWK ’90) mengingatkan kebijakan ruang publik harus berbasis dialog dan kepentingan warga. “Bukan sekadar membuka ruang, tapi memastikan ruang itu aman, ramah, dan punya makna.”

Pembukaan taman 24 jam harus disertai pemetaan kebutuhan warga. “Harus ada segmentasi waktu dan segmentasi kegiatan,” ujarnya. Ia mencontohkan pagi hari menjadi waktu ideal bagi lansia dan anak-anak, sementara itu sore hingga malam bisa menjadi waktu untuk berolahraga atau pertunjukan. “Tetapi kalau 24 jam, siapa yang akan menggunakan pada pukul 01.00–04.00 dini hari? Untuk kegiatan apa?” katanya.

Menurut Yayat, keberhasilan taman kota bukan soal buka tutup jam, tapi bagaimana tempat itu mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi semua kalangan. “Kalau tidak ada perencanaan sosial, taman 24 jam hanya jadi laboratorium sosial dan arena eksperimen yang bisa gagal.”

Persoalan pembiayaan operasi taman 24 jam juga harus jelas karena melibatkan dinas pertamanan, dinas kebersihan, dan satuan polisi pamong praja. “Pendanaan dan waktu pengoperasiannya mesti jelas.” Ia juga menyoroti penting-nya peran komunitas dalam menjaga keberlanjutan taman. “Kalau komunitas lokal tak dilibatkan, ya balik lagi, taman bisa jadi tempat yang tidak terawat.”

Di Taman Lapangan Banteng, di tengah kemeriahan gelaran Jakarta Beat Society, tak semua pengunjung sepakat dengan pembukaan taman 24 jam. “Dulu ini tempat COD sabu-sabu, tempat mesum, dan sebagainya,” kata Allan (35) sembari mengingat masa ketika taman Lapangan Banteng dijauhi warga karena rawan tindak kriminal.

Meski senang menikmati hiburan musik malam itu, warga Pasar Baru ini lebih merasa nyaman jika taman dibuka pada jam tertentu. Kekhawatiran senada juga datang dari Suharno, petugas parkir malam. “Saya kerja jadi lebih lama, bisa sampai pagi, tapi dibayar sama aja.”

Di kota yang tak pernah benar-benar tidur, taman tak hanya butuh lampu dan pagar, tapi juga perhatian, keamanan, dan niat kolektif untuk menjaga. Pembukaan taman kota 24 jam menuntut kesiapan infrastruktur hingga solidaritas sosial, agar ruang publik bisa benar-benar menjadi milik bersama, siang dan malam.

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *