Harapan Baru Deteksi Dini Penyakit Kardiovaskular

Mutiara Sidharta

Alat karya tim peneliti Teknik Biomedika ITB bisa mendeteksi potensi penyakit kardiovaskular. Inovasi dunia kesehatan Indonesia.

ALAT inovasi dari tim peneliti Teknik Biomedika ITB, NIVA (Non-Invasive Vascular Analyzer), membawa angin segar bagi dunia kesehatan Indonesia. Meski tampilannya sederhana, alat ini berpotensi menjadi kunci penting untuk mendeteksi penyakit kardiovaskular sejak dini, sebelum gejala muncul.

Dalam waktu 10 hingga 15 menit, NIVA dapat mengungkap tanda-tanda awal penyumbatan pembuluh darah. Pada awal Maret lalu, Alumnia berkesempatan mencoba alat ini. Cukup dengan berbaring santai, manset dipasang di lengan dan kaki, serta pulse oximeter di ujung jari.

Alat mulai bekerja dengan menekan dan melepas seperti pengukur tekanan darah, sementara sensor-sensor menangkap data penting: tekanan darah dan variasi volume darah. Semuanya diproses menjadi informasi yang sangat berguna bagi dokter.

NIVA mengukur hingga 15 parameter kardiovaskular sekaligus, termasuk estimasi usia pembuluh darah, Ankle Brachial Index (ABI) dan Pulse Wave Velocity (PWV). Dua parameter terakhir ini sebelumnya hanya bisa diukur dengan alat terpisah yang harganya mahal dan sulit diakses.

“Biasanya untuk memeriksa vaskular itu cuma tensi, normal atau tidak. Tensi tidak bisa menggambarkan kondisi vaskular yang lebih lengkap,” ujar Dr. Hasballah Zakaria (SI ’90), anggota tim peneliti NIVA. Ia bersama rekan-rekannya mengembangkan alat ini sejak 2013, berangkat dari tantangan yang diberikan almarhum Dr. dr. Ismoyo Sunu, Sp.JP(K)—tokoh besar di bidang vaskular Indonesia.

Menurut catatan Kementerian Kesehatan, strok dan penyakit jantung adalah dua penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Penyakit jantung berada pada peringkat pertama penyakit termahal yang dibiayai BPJS kesehatan pada 2024, dengan total biaya mencapai Rp19,25 triliun untuk 22,55 juta kasus. Deteksi dini diharapkan dapat mengurangi angka kejadian sekaligus memangkas biaya kesehatan.

Berkat dukungan dana dari Penelitian Unggulan Strategis Nasional DIKTI, prototipe pertama NIVA rampung pada 2015. Prototipe tersebut kemudian menjalani uji klinis di RS Jantung Harapan Kita. Hasilnya, NIVA setara dengan alat luar negeri yang digunakan di sana, tetapi dengan biaya produksi yang jauh lebih murah dan kemampuan untuk membaca lebih banyak parameter dalam sekali jalan.

Setelah dipublikasikan, artikel di majalah Gatra menarik perhatian PT Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP) Tbk. Korporasi ini kemudian menggandeng tim peneliti ITB untuk memproduksi NIVA secara massal. PT SCNP yang berpeng-alaman memproduksi peralatan rumah tangga kini sedang mengembangkan alat kesehatan. LPIK ITB (Inkubator ITB) menjadi perwakilan ITB dalam kerja sama ini, memastikan peneliti terlindungi melalui paten.

Pada 2018, NIVA dikembangkan dari skala laboratorium ke skala industri, meski sempat terhambat oleh pandemi COVID-19. Akhirnya, NIVA mendapat izin edar pada 2023.

NIVA juga dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Hasil pemeriksaan bisa langsung dikirim ke WhatsApp pasien, lengkap dengan rekomendasi langkah selanjutnya. Karena pengukuran dilakukan secara luring, alat ini tetap dapat digunakan di daerah dengan akses internet

terbatas. Proses pengoperasiannya pun mudah sehingga bisa digunakan tenaga kesehatan non dokter.

Juliando Imam Posumah, penanggung jawab teknis di PT SNCP, menjelaskan bahwa alat ini mudah digunakan oleh tenaga kesehatan. Namun, untuk analisis AI dan pengiriman hasil melalui WhatsApp, diperlukan jaringan internet yang stabil.

“Semua pemeriksaan bisa dilakukan secara luring. Hanya saja, untuk analisis dengan AI dan pengiriman hasil analisis ke WhatsApp masih memerlukan jaringan internet. Untuk daerah tanpa internet, hasil pemeriksaannya bisa diberikan dalam bentuk cetak,” ujar Juliando kepada Kompas pada September tahun lalu.

Dengan harga sekitar Rp 250 juta, NIVA sudah terdaftar dalam e-katalog pemerintah. Dibandingkan alat serupa dari luar negeri, NIVA menawarkan lebih banyak fungsi dan lebih relevan dengan kondisi sistem kesehatan Indonesia.

Hasballah mencontohkan adanya alat impor yang mirip NIVA, tetapi menggunakan parameter Cardio Ankle Vascular Index (CAVI) yang belum masuk tata laksana vaskular Indonesia. NIVA yang lebih berfokus pada ABI dan PWV, lebih aplikatif digunakan di sini.

Tim peneliti menargetkan versi ringan NIVA yang hanya mengukur lima parameter utama. Tujuannya, agar puskesmas bisa memilikinya. Pemeriksaan rutin pada pasien hipertensi bisa menjadi langkah awal deteksi dini sebelum kerusakan vaskuler terjadi. “Dengan alat ini, pasien hipertensi di puskesmas bisa diukur sejak awal apakah hipertensinya sudah menyebabkan kerusakan vaskular. Jangan ditunggu sampai akhirnya kena serangan jantung atau strok. Langsung dirujuk, misalnya untuk pasang ring,” kata Hasballah.

Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan agar NIVA bisa menjadi standar pemeriksaan awal di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Harapan ini semakin kuat setelah audiensi dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (FI ‘83), yang justru mendorong pengembangan NIVA versi advanced dengan tambahan parameter Toe Brachial Index (TBI) untuk mendeteksi komplikasi pada pasien diabetes.

Cerita NIVA adalah kisah tentang mimpi besar yang diwujudkan lewat inovasi lokal, kerja keras, dan kolaborasi. Bahwa Indonesia mampu menciptakan alat kesehatan cang-gih dan andal, bahkan menjadi produsen, bukan hanya pengguna. NIVA adalah bukti nyata bahwa harapan deteksi dini penyakit jantung bukan sekadar wacana—melainkan kenya-taan yang hadir di tengah kita.

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *