NAMA Vina Candrawati agaknya tak bisa dilepaskan dari seni melukis pasir. Meski banyak nama dikenal sebagai pelukis pasir, hanya Vina yang konsisten menjadi pelukis pasir perempuan di Indonesia dengan kebaya sebagai ciri khasnya.
Karier Vina di bidang seni pertunjukan dimulai pada 2012. Saat itu, ia mengikuti kompetisi Indonesia Mencari Bakat pada musim ketiga. “Kompetisi itu berbulan-bulan. Tiap pekan harus tampil dengan ide baru,” kata Vina yang menjadi runner up dalam kompetisi itu kepada Alumnia awal Maret lalu.
Vina semula tak berminat untuk naik ke panggung hiburan. Ia lebih banyak mendukung suaminya, Denny Multi Parmikoadi (DI ’96), yang lebih dikenal dengan nama panggung Denny Darko, sebagai
seniman. Namun, kesempatan untuk berkompetisi terlalu menarik untuk dilewatkan.
“Mas Denny saat itu sudah punya nama (Denny menjadi runner up di ajang bakat The Master tahun 2009), jadi aku yang ikut,” kata Vina. Seni melukis pasir sendiri pertama kali diperkenalkan di televisi Indonesia pada 2011 oleh Denny dalam segmen azan Maghrib di Indosiar.
Proses pengembangan seni melukis pasir dilakukan setelah melihat pertunjukan di YouTube. Vina dan Denny memutuskan untuk membuat karya dengan medium serupa. “Kami riset bareng. Dari peralatan, desain meja, teknik menggambar, sampai materialnya,” kata Vina.
Keduanya menguji berbagai jenis pasir, dari pasir pantai Bali hingga konsultasi ke Museum Geologi. “Kami akhirnya dapat pasir yang cocok justru di toko akuarium di Jalan Karapitan, Bandung,” kata Vina. Pasir silika terbilang ringan, tak lengket di tangan, dan punya ukuran yang sama sehingga cocok untuk digunakan dalam pertunjukan.
Menurut Vina, merintis karier di dunia hiburan bukan hal yang mudah, melainkan proses panjang. “Yang dinikmati bukan hasil akhirnya, tapi proses, alur cerita, musik, narasi, dan suara latarnya. Orang terpukau melihat pasir bertransformasi di tangan kami,” katanya.Vina bermimpi membawa budaya Indonesia ke panggung dunia lewat lukis pasir. “Pengin banget tampil di luar negeri, ceritain budaya kita,” katanya penuh harap. Seni mengubah cara ia memandang hidup. “Lukis pasir ajarkan aku untuk enggak overthinking. Lakukan yang terbaik, nikmati prosesnya. Penonton akan paham ceritanya di akhir.”