Bermula Mencari Hobi, Kemudian Jadi Komika

Redaksi

DI layar ponsel, sosok pria berkacamata muncul dengan nada bicara santai, tapi menggelitik. “Lah, emang kenapa? Temen gue anak UI, sekarang kerja di World Bank di  Amerika. Temen-temen gue anak ITB juga, bertahun-tahun kerja di Indonesia, sekarang kerja di Oman, Norwegia. Bisa-bisa aja. Siapa bilang telat?” ujar akun @firufd (TM ’11) dalam video Instagram-nya akhir Februari lalu.

Unggahan dua menit itu membahas sentimen bahwa tren #KaburAjaDulu—narasi tentang mencari hidup di luar negeri—sudah ketinggalan zaman. Menurut Firu, justru belum pernah ada kata “telat” untuk berpikir migrasi. Ia menilai peran Indonesia di dunia internasional masih minim. “Seperti UMR Jogja. Rendah,” katanya. Kontras sekali dengan jumlah penduduk Indonesia yang terbesar keempat di dunia.

Ketika artikel ini ditulis, video tersebut disukai lebih dari 54 ribu pengguna. Tak berhenti di situ, konten lain-nya yang membahas skandal pejabat Pertamina dalam kasus impor minyak bahkan menembus 153 ribu likes. Firu, yang baru 1,5 tahun terjun sebagai kreator konten, tak pernah menyangka unggahan-unggahannya bisa viral berulang kali.

Semua bermula dari rasa jenuh. Usai menyelesaikan studi S2 bidang energi di University of Dundee, Skotlandia (2019) dan bekerja sebagai konsultan energi terbarukan, Firu merasa hidupnya terlalu monoton. Ia ingin mencari hobi baru—dan menemukan stand-up comedy.

Ia pun bergabung dengan komunitas komedi di Depok dan mengikuti kelas dari Pandji Pragiwaksono (DP ’97). Dari sana, ia belajar menulis naskah, berlatih mem-bawakan monolog, dan mulai bereksperimen lewat video pendek di TikTok dan Instagram. Hingga hari ini, Firu mengerjakan semua sendiri. Dari riset, penulisan, pere-kaman hingga penyuntingan.

“Untuk satu video pendek, saya butuh dua sampai tiga jam menulis naskahnya,” ujarnya kepada Alumnia awal Maret lalu. “Saya suka bercerita dan suka belajar dari mana saja.”

Sebagian besar kontennya membahas isu-isu aktual yang ramai di media. Salah satu unggahannya mengait kan kalimat fiktif Marie Antoinette “let them eat cake”  dalam Revolusi Prancis dengan unggahan Erina Gudono tentang roti seharga Rp400 ribu yang dibeli Kaesang Pangarep.

Reaksi publik kala itu ramai karena unggahan dianggap kurang sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Namun, Firu selalu menekankan pentingnya membuat konten dengan hati-hati. Salah satu videonya pernah diturunkan TikTok karena mengangkat isu politik. Sejak itu, ia makin cermat memilih sudut pandang.

“Karena berangkat dari komedi, saya sadar dari awal untuk menulis dengan hati-hati agar tidak terkena delik.”

Meski kritis, tak semua kontennya serius. Ia juga suka membahas hal-hal absurd, seperti soal kemalasan panda. “Walaupun terkesan malas, to-lol, bahkan enggak guna, tapi kalau good looking, hidup terasa nyaman karena semua masalah (ada) orang lain yang nyebokin,” ujarnya jenaka dalam salah satu videonya.

Firu juga tak menutupi identitasnya sebagai alumni ITB. Ia sering menyelipkan kisah masa ku-liah, termasuk hobinya pada anime. Semasa sar-jana, ia bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Unit Genshiken, Unit Kebudayaan Jepang di ITB. Ia bangga menyebut dirinya seorang wibu.

Ada satu momen yang cukup membanggakan selama kariernya sebagai kreator. Tahun lalu, saat isu kenaikan biaya kuliah mencuat, Firu ikut menyuarakan keresahan mahasiswa lewat TikTok. Kontennya memantik pemberitaan media dan perhatian publik.

“Bagi saya, itu cukup mengharukan. Akhirnya mahasiswa-mahasiswa yang kesulitan bayar itu jadi bisa mendapatkan penangguhan.”

Lewat gaya sarkas, komedi ringan, dan riset mendalam, Firu membuktikan bahwa menjadi lucu tak berarti tak bisa serius. Dari sekadar mencari hobi, ia kini menjelma jadi suara kritis yang segar di media sosial.

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *