Alumni ITB Gelar Diskusi Interaktif untuk Mitigasi Gempa Sesar Lembang

Fachrizal Hutabarat

Forum Sesar Lembang Circle adalah inisiatif alumni ITB untuk mengajak berbagai pihak bersama-sama meningkatkan kesiapsiagaan Bandung menghadapi ancaman gempa dari Sesar Lembang.

SEJUMLAH alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) mengadakan diskusi interaktif bertajuk “Sesar Lembang Circle” sebagai upaya kolektif menghadapi potensi bencana gempa di kawasan Bandung. 

Forum ini merupakan bagian dari inisiatif program Agung Aswamedha (Fisika 2002), calon Ketua Umum IA-ITB 2025–2029 nomor urut 01, yang ingin mendorong kesadaran publik serta kolaborasi lintas sektor untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman nyata Sesar Lembang.

Acara yang digelar pada Senin, 14 Juli 2025 di 1933 Dapur & Kop, Bandung ini menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, peneliti, pelaku industri kreatif, hingga aktivis komunitas. 

Sejumlah pembicara lintas bidang seperti Seterhen Akbar (EL’03), Zahra Khairunnisa (PL’16), dan Adi Panuntun (DKV’99), hadir dengan harapan membangun kolaborasi multipihak untuk menjadikan Bandung lebih resilien terhadap ancaman Sesar Lembang.

Sesar Lembang sendiri merupakan patahan aktif sepanjang ±29 kilometer yang melintasi kawasan padat penduduk di utara Bandung.  Menurut hasil penelitian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), potensi gempa dengan magnitudo sekitar 6,8–7,0 bisa terjadi sewaktu-waktu.

Para ahli menuturkan, pergeseran sesar sekitar 2 mm per tahun tanpa pelepasan energi besar dalam ratusan tahun terakhir menjadikan ancamannya semakin nyata.

Dalam forum tersebut, berbagai pendekatan mitigasi dibahas, termasuk pentingnya edukasi kebencanaan sejak usia dini, penyusunan tata ruang berbasis risiko, hingga kampanye publik melalui narasi populer seperti seni, budaya, dan musik. 

Baca Juga: Tim Pemenangan Atep Konsolidasi Jelang Pemilu IA-ITB 2025

Pada forum tersebut, Seterhen Akbar selaku CEO Labtek Indie mengingatkan, membangun kultur sadar risiko sejak dini jauh lebih penting ketimbang sekadar simulasi tahunan. 

“Mitigasi bencana bukan cuma soal simulasi dan sirene. Ini soal membangun kultur sadar risiko sejak kecil, sejak sekarang. Kalau kita bisa buat Bandung jadi kota musik, kenapa tidak bisa jadi kota sadar bencana?,” kata Seterhen saat jalannya acara.  

Sementara itu, Zahra Khairunnisa, peneliti muda di bidang perencanaan kota, menyoroti pentingnya integrasi antara data ilmiah dan pengambilan kebijakan.  

Ia menyatakan bahwa tantangannya bukan hanya pada patahan geologi, tapi juga pada patahan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan publik.  

“Urban planning harus berani mengakomodasi skenario terburuk, bukan sekadar mengejar proyek jangka pendek,” kata Zahra mengutip dari situs jabar.jpnn.com..

Menanggapi isu ini, Kang Atep menekankan urgensi kolaborasi semua pihak dalam membentuk ekosistem kesiapsiagaan yang menyeluruh.

“Ini nyata dan bisa terjadi kapan saja. Tapi alih-alih menakuti, kita harus mengajak semua pihak membentuk ekosistem baru: edukatif, kolaboratif, dan partisipatif,” tegasnya.  

Baca Juga: Rangkaian Pemilu IA-ITB 2025 Resmi Berakhir di Hearing Nusantara Jakarta

Namun, Atep pun optimistis Bandung bisa menjadi contoh nasional dalam kesiapsiagaan berbasis komunitas. Saat ini, Kota Bandung tengah tumbuh pesat. Namun pertumbuhan tanpa mitigasi berpotensi menghadirkan risiko besar. 

Sesar Lembang Circle sendiri merupakan salah satu dari program kerja kandidat Ketum IA-ITB 2025-2029, Agung Aswamedha. 

Jika terpilih menjadi Ketum IA-ITB pada acara Pemilu IA-ITB 2025 di Kongres Nasional XI Bandung, 20 Juli 2025 mendatang, Atep berencana membuat sebuah wadah bagi para alumni ITB lintas jurusan kumpul bareng untuk memikirkan solusi mitigasi bencana.

Hal ini dapat dilakukan melalui diskusi, rencana, dan aksi. Menurut Atep, outputnya dapat berupa buku panduan, lagu anak, sampai repositori ilmu pengetahuan.  

Forum “Sesar Lembang Circle” ini juga menyoroti tantangan besar dalam menjembatani “patahan komunikasi” antara ilmuwan dan pembuat kebijakan, agar data ilmiah benar-benar diterjemahkan menjadi kebijakan ruang dan kesiapsiagaan yang konkret.

Dengan semangat kolaborasi ini, para peserta berharap Bandung dapat tumbuh sebagai kota tangguh bencana, bukan hanya kota kreatif yang mampu melindungi warganya dari potensi bencana geologis di masa depan.

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *