CINA merupakan contoh negara yang memanfaatkan bonus demografi. Selama 40 tahun terakhir, Tiongkok mencapai pertumbuhan ekonomi yang masif. Produk Domestik Bruto (PDB) Cina meningkat dari US$ 149,5 miliar pada 1978 menjadi US$ 12 triliun pada 2017. Posisi Cina juga naik dari peringkat ke-10 global pada 1978 menjadi peringkat kedua ekonomi terkuat dunia setelah Amerika Serikat.
Kondisi ini tidak terlepas dari tingginya jumlah angkatan kerja di Cina. Pada 1982 di Cina, angkatan kerja mencapai 61,5% dari total populasi. Jumlah penduduk usia produktif di negeri ini menembus 800 juta pada 1995. Lalu 900 juta pada 2002 dan mencapai 1 miliar pada 2011. Puncaknya ketika tenaga kerja Cina mencapai 1,006 miliar pada 2013. Pada 2017, jumlah tenaga kerja usia produktif mulai menurun, yaitu 998 juta, meski proporsinya masih 71,8% dari total populasi.

Toh kesuksesan ini tak lepas bayang-bayang kelabu. Tiongkok mengkampanyekan kebijakan “satu anak, satu keluarga” untuk menekan jumlah populasi antara tahun 1978-2015. Dampaknya, kini Cina berada di ambang krisis demografi. Untuk mencegah krisis, negara ini bakal menetapkan kebijakan baru. Kantor Berita Xinhua melaporkan bahwa usia pensiun wajib bagi pekerja pria akan diperpanjang secara bertahap dari 60 tahun menjadi 63 tahun. Usia pensiun pekerja wanita juga diperpanjang menjadi 55-58 tahun.
David E. Bloom dalam bukunya The Demographic Dividend (2003) menyebutkan bonus demografi adalah potensi, bukan sesuatu yang otomatis akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. “Perlu kebijakan yang tepat agar bonus demografi ini dapat memicu periode pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,” kata Bloom. Jika salah langkah, yang terjadi justru sebaliknya: bencana demografi menanti. Pengangguran melesat, kriminalitas dan masalah sosial meningkat.
Indonesia tengah mengalami masa bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya pada 2030. Bonus demografi konon hanya terjadi sekali dalam setiap sejarah bangsa. Kondisi ini berpeluang mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia dari negara berpenghasilan menengah menjadi negara maju.
Selain persoalan kompetensi dan kualitas tenaga kerja, pemerintah perlu memperhatikan sektor industri pengolahan. Terlebih, PHK terbesar saat ini berasal dari industri pengolahan, sektor penyerap tenaga kerja terbesar keempat dan sektor penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB). Kebijakan ekonomi pemerintahan baru akan menentukan sukses tidaknya Indonesia mengelola bonus demografi. ▉