Program kolaborasi ITB dan Pemprov Jabar melalui budidaya aquaponik di Desa Karyasari, Kabupaten Garut menjadi solusi inovatif jitu untuk mengatasi stunting.
SEBUAH inisiatif kolaboratif diluncurkan di Desa Karyasari, Kabupaten Garut, untuk mengatasi persoalan stunting anak-anak dan ketahanan pangan melalui teknologi budidaya ikan nila dan pertanian aquaponik.
Program ini merupakan hasil sinergi antara Institut Teknologi Bandung (ITB), Ikatan Alumni ITB jawa Barat (IA-ITB Jabar), Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Rumah Amal Salman, didukung oleh dana hibah kompetitif dari Pemprov Jabar.
Program yang diresmikan pada 15 Mei 2025 ini turut dihadiri tokoh-tokoh penting, termasuk Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI, Gubernur Jawa Barat, dan perwakilan dari IA-ITB Jawa Barat.
Hadir dalam kesempatan tersebut Prof. Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc. dari sebagai Wakil Rektor Institut Teknologi Bandung, Ketua IA-ITB Jabar, Jalu Priambodo, Bupati Garut, Dr. Ir. H. Abdusy Syakur Amin, M.Eng., IPU, serta Ketua Pengurus Rumah Amal Salman, Mipi Ananta Kusuma.
Ketua IA-ITB Jabar, Jalu Priambodo, menyampaikan komitmen alumni ITB dalam mendukung inovasi berbasis teknologi yang berdampak nyata.
“Kolaborasi ini mencerminkan semangat alumni untuk selalu hadir di tengah masyarakat, membawa ilmu dan solusi. Kami berharap ini bukan akhir, tapi awal dari gerakan bersama untuk Indonesia yang lebih sehat dan berdaya,” ujarnya saat dihubungi Alumnia.
Menurut Jalu, saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat Desa Karyasari, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, adalah tingginya angka stunting pada anak-anak. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap makanan bergizi, terutama protein hewani, yang diperparah oleh kondisi ekonomi yang sulit.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) sendiri, data terakhir menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Kabupaten Garut meningkat dari 23,6% pada tahun 2022 menjadi 24,1% pada tahun 2023.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diterapkan program budidaya ikan nila dan aquaponik sebagai solusi yang berkelanjutan. Budidaya ini mengusung teknologi Integrated Recirculating Aquaculture System (I-RAS) dan Bioflok.
Sistem ini memungkinkan budidaya ikan air tawar yang efisien dalam penggunaan air, terintegrasi dengan tanaman sayuran organik berbasis aquaponik. Dengan memanfaatkan lahan seluas 1.200 meter persegi dan greenhouse seluas 370 meter persegi, proyek ini diproyeksikan menghasilkan 1 hingga 4 ton ikan nila serta 6.200 pot sayuran organik setiap dua minggu.
Selain itu, Jalu menambahkan, hal yang menjadikan proyek ini berbeda adalah pendekatannya yang inklusif dan berdampak langsung pada masyarakat.
Hasil panen dijual ke pasar, dan keuntungannya dikonversi menjadi paket makanan bergizi untuk 52 keluarga rentan stunting. Program ini juga melibatkan 12 santri dan warga sekitar sebagai pelaksana harian, serta didukung oleh 68 tim kesehatan posyandu dan mahasiswa.
“Pada awalnya kolaborasi ini mencakup edukasi stunting melalui Kader Muda Sehat di Desa Karyasari Garut. Kemudian di desa yang sama, kolaborasi ini berlanjut melalui pembuatan Kebun Gizi melalui aquaponik. Selain untuk pemenuhan gizi warga, hasil dari budidaya aquaponik ini juga akan dijual ke luar,” kata Jalu saat dihubungi Alumnia.
Jalu melanjutkan, Dengan pendekatan ini, diharapkan masyarakat tidak hanya mendapatkan akses langsung ke sumber protein dan sayuran segar, tetapi juga peluang ekonomi melalui penjualan hasil panen.
Keuntungan dari penjualan tersebut kemudian dikonversi menjadi paket makanan bergizi bagi keluarga yang membutuhkan, terutama mereka yang rentan terhadap stunting.
“Kami ingin teknologi ini bukan hanya menjadi solusi pangan, tetapi juga sebagai sarana pemberdayaan masyarakat,” ujar Prof. Irwan Meilano, Wakil Rektor ITB saat melakukan peresmian di program budidaya ikan nila berbasis teknologi tersebut di Desa Karyasari, Kecamatan Banyuresmi, Garut, Kamis, 15 Mei 2025.

Program ini juga melibatkan pelatihan dan pemberdayaan masyarakat setempat, termasuk santri dan warga lokal, untuk mengelola sistem budidaya tersebut. Dengan demikian, selain meningkatkan ketahanan pangan, program ini juga memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber daya secara mandiri dan berkelanjutan.
Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin, menyampaikan harapannya agar model ini bisa direplikasi di daerah lain, terutama wilayah yang kekurangan sumber air.
“Efisiensi air menjadi keunggulan teknologi ini. Kami melihatnya sebagai solusi yang bisa diterapkan luas,” jelasnya.
Selain itu, Ketua Rumah Amal Salman, Mipi Ananta Kusuma, menyebut bahwa inisiatif ini sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) dan semangat kampus berdampak.
“Kami berharap ini menjadi model pemanfaatan dana ZIS, CSR, dan sumber pendanaan publik-privat lainnya secara lebih produktif dan terukur,” kata Mipi.
Dengan kolaborasi lintas institusi dan pendekatan berbasis data serta teknologi ramah lingkungan, program ini menunjukkan bahwa masalah gizi kronis dapat ditanggulangi melalui solusi yang terintegrasi dan berkelanjutan. Kedepannya, inisiatif serupa diharapkan dapat direplikasi di daerah lain, memperluas dampak positif bagi Indonesia yang lebih sehat dan berdaya.