Muhammad Agung Saputra. FOTO: RENSI ADHI | ALUMNIA
MUHAMMAD Agung Saputra (BI ’13) mencatatkan namanya sebagai salah satu dari Forbes 30 Under 20 Asia di segmen Consumer Technology pada pertengahan tahun ini. Penghargaan dari salah satu ma-jalah ekonomi paling bergengsi di dunia itu diberikan kepada anak-anak muda di bawah 30 tahun dengan pencapaian dan karier yang berdampak pada industri di Asia.
“Senang sudah pasti. Ada pengakuan dari upaya yang selama ini saya lakukan,” kata Agung kepada Alumnia, di Pasar Santa Blok M, Jakarta pada Agustus lalu. Aplikasi Surplus telah menyelamatkan 100 ribu ton makanan yang setara dengan nilai ekonomi hingga Rp 2,2 miliar dan mencegah emisi karbon lebih dari 3.500 ton. Hal ini penting mengingat Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara.
Ide membangun aplikasi Surplus berasal dari pengalaman pahit Agung yang sempat kesulitan memperoleh makanan di sejumlah momen hidup. Agung yang lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, menghabiskan masa kecil dan sebagian masa remajanya di Jayapura, Papua. “Makanan di Papua itu mahal karena harus didatangkan dari Jawa dan Sulawesi. Pilihan makanan lokal sangat terbatas,” kata Agung. “Kebanyakan sagu dan umbi-umbian.”
Agung pindah ke Bekasi untuk melanjutkan pendidikan menengah atas. “Saya terkejut, ada banyak makanan yang dibuang,” kata Agung yang menjadi siswa sekolah berasrama SMA Presiden. Ia melihat kondisi ini ketika sedang keluar dari asrama dan melintasi pabrik-pabrik makanan. “Mereka tidak tahu kalau makanan seperti ini, buah yang imperfect itu sangat berharga di Papua,” kata Agung.
Agung sempat bekerja di wilayah tambang Sulawesi se-lepas menamatkan pendidikan sarjana dari ITB. Ia kemudian melanjutkan kuliah magister Teknik Lingkungan di Imperial College London pada 2018. Ketika itu dia kesulitan mendapatkan beasiswa dan bekerja paruh waktu sebagai fotografer untuk membiayai hidup dan kuliah. Agung menggunakan segala cara untuk menghemat biaya hidup. Salah satunya, mencari diskon makanan saat mendekati jam tutup toko.
“Pengalaman ini yang menginspirasi saya menciptakan aplikasi Surplus,” kata dia. Sekembalinya dari Inggris pada 2020, Agung mulai mengkampanyekan pencegahan makanan terbuang. Setiap pekan, bersama lima orang kawan-kawannya, Agung berkampanye dalam Hari Bebas Kendaraan Bermotor di kawasan Thamrin-Sudirman. Salah satunya dengan meminta pengunjung menebak dan mencicipi buah-buahan yang imperfect dan yang “sempurna”.
Sampah makanan di Indonesia terbilang serius. Berdasarkan data Food Waste Index 2024 yang dirilis United Nations Environment Programme (UNEP), Indonesia menghasilkan 14,73 juta ton sampah tiap tahun, terbesar di Asia Tenggara. Angka itu lebih banyak dua kali lipat dari jumlah sampah yang dihasilkan Vietnam yang berada di peringkat kedua, yaitu 7,06 juta ton sampah per tahun.
Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2021 menyebutkan kerugian yang dihasilkan dari sampah makanan setara dengan Rp 231-551 triliun. Ironisnya, jumlah tersebut bisa mencukupi kebutuhan gizi 61-125 juta warga Indonesia yang juga masih bermasalah dengan kekurangan gizi dan stunting.
Isu-isu itulah yang Agung dan teman-teman bagikan kepada masyarakat. Aktivitas itu kemudian dikembangkan dalam organisasi nirlaba Yayasan Surplus Peduli Pangan. Organisasi ini juga giat menyalurkan sisa makanan berlebih dari beberapa UMKM kepada masyarakat yang membutuh-kan. Namun, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat pandemi membuat aktivitasnya terbatas.
Agung memutar otak agar aspirasinya tetap berjalan hingga lahirlah ide membuat aplikasi Surplus. Agung melihat kesempatan memfasilitasi dua pihak, yakni produsen dan konsumen, dalam mengatasi limbah makanan.
Pada masa pandemi, produsen dan pengusaha makanan mengalami kelebihan stok akibat PPKM yang membatasi ruang gerak restoran dan hotel. Sementara konsumen membutuhkan makanan dengan harga yang terjangkau.
Setelah menggodok ide bisnisnya selama kurang lebih satu tahun, Agung meluncurkan aplikasi Surplus kepada publik di pertengahan 2021. Di bawah naungan PT Ekonomi Sirkular Indonesia, Surplus merupakan aplikasi penyelamat makanan pertama di Indonesia.
Agung menggandeng hotel, mal, hingga para petani un-tuk menjual kelebihan stok makanan yang mereka miliki dengan harga murah. Meski menjual dengan diskon, produsen bisa balik modal dengan menjual produk mendekati harga pokok produksi.
Para konsumen pengguna aplikasi mendapatkan harga pangan yang terjangkau. Mereka bisa membeli makanan layak yang mendekati tanggal batas konsumsi dengan harga diskon sampai 50 persen. Surplus pun mendapatkan keuntungan dengan menarik komisi di setiap penjualan. “Surplus bisa memberikan solusi buat produsen, konsumen dan pembuat aplikasi,” kata Agung.
Beberapa partner ternama yang digandeng Surplus, an-tara lain Swiss-Belhotel International, Sarinah, Sari Roti, dan Sunpride. Mereka juga mendapat dukungan dari Badan Pa-ngan Nasional dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf).
Saat ini aplikasi Surplus memiliki lebih dari 500.000 pengguna di 12 kota besar di Indonesia dan bekerja sama dengan lebih dari 4.000 merchant yang terdiri dari hotel, restoran, dan katering. Namun, pencapaian ini tak diperoleh dengan mudah. Minimnya regulasi maupun insentif tentang pengelolaan sampah makanan dari pemerintah membuat banyak produsen memilih membuang makanan berlebih. “Karena membuang, jauh lebih mudah dan murah daripada harus bersusah payah mencegah atau mengelola sampah makanan,” kata Agung. Ia perlu memberikan edukasi kepada banyak pelaku usaha untuk meningkatkan kesadaran pentingnya mencegah dan mengelola sampah makanan sembari menawarkan kerja sama.
Baru-baru ini, Surplus mengembangkan bisnis berkelanjutan lewat Juicible. Merek baru di bawah Surplus ini menyajikan jus sehat layak konsumsi dari buah-buah imperfect yang kerap ditolak supermarket besar. Juicible yang menggunakan model bisnis berbentuk gerai makanan ini sudah beroperasi di Pasar Santa Blok M, Flix Cinema PIK Avenue, dan Flix Cinema Grand Galaxy Park Bekasi.
“Imperfect bukan berarti nutrisinya hilang. Ini masih layak makan dan sehat,” katanya. Dengan menggunakan buah-buah-an imperfect, penyusutan makanan yang umum terjadi dalam rantai pasokan makanan dapat diminimalisir.
Kini, Surplus juga memperluas kerjasama produk. Selain dapat membeli kelebihan produksi makanan, pengguna juga dapat membeli tiket bioskop yang tidak terjual mendekati waktu tayang, maupun membeli pakaian hasil konveksi yang tidak lolos pemeriksaan kualitas dari perusahaan retail ternama. “Pengguna mendapatkan potongan harga,” kata Agung.
Semua pengembangan itu membutuhkan modal yang besar. Saat ini Surplus tengah membuka pendanaan pra-Seri A setelah sebelumnya mendapatkan pendanaan tahap awal di tahun 2023 dari Salam Pacific Indonesia Lines (SPIL) Ventures sebesar US$400 ribu.
Surplus Indonesia telah mengantongi sertifikasi B Corp. Sertifikasi ini diberikan kepada perusahaan yang setiap aspek bisnisnya mampu memberi dampak positif dan nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan. Saat ini, hanya 25 perusahaan di Indonesia yang mampu mendapat sertifikasi tersebut. “Ini bukan garis akhirnya. Saya masih ingin memberikan lebih banyak dampak lewat Surplus,” kata Agung.