Jutaan orang memilih pergi dari Indonesia. Potensi bonus demografi dan pertumbuhan ekonomi bisa lepas dari tanah air.
DI antara deretan tagar populer yang pernah bergema di media sosial Indonesia, mungkin tidak ada yang sesinis sekaligus sejujur #KaburAjaDulu. Tagar ini muncul dari ruang-ruang obrolan digital, diucapkan setengah bercanda oleh para profesional muda yang mengalami kebuntuan: gaji tak naik, karier jalan di tempat, dan sistem kerja yang lebih banyak diwarnai kolusi daripada kompetensi. Meritokrasi kerap tak berlaku dan sistem yang ada sering kali membelenggu, bukan mendukung.
Namun, di balik kejenakaan sinisnya, #KaburAjaDulu ada-ah jeritan lirih dari mereka yang merasa dicampakkan oleh negerinya sendiri. Tak jarang, jalan keluar itu berarti meninggalkan ibu pertiwi demi kehidupan yang lebih baik di luar negeri.|
Sufty Nurahmartiyanti (DI ‘06) adalah salah satunya. Bagi ibu tunggal ini, meninggalkan tanah air dan berpisah sementara dengan putri semata wayangnya adalah keputusan paling berat. Namun, “Kondisi ekonomi pasca pandemi tidak membaik. Situasi politik di Indonesia juga enggak meyakinkan,” katanya. Sejak Juli tahun lalu, Sufty menetap dan bekerja di Bangkok, Thailand.
Ferdian Rahim (SI ’05), yang kini berkarier di perusahaan telekomunikasi di Qatar, menilai tantangan bekerja di Indonesia bukan semata soal gaji. “Terlalu banyak posisi strategis yang diisi karena ‘siapa kenal siapa’. CEO jangan dari politik. Pemimpin jangan ditunjuk karena koneksi,” ujarnya saat diwawancarai Maret lalu.
Baginya, bekerja di luar negeri menawarkan fairness—rasa dihargai sebagai profesional karena kompetensi. “Saya enggak punya siapa-siapa di sini. Tapi, KPI (key performance indicator) saya jelas. Yang dilihat ya, kerja saya,” katanya..
Fenomena perginya talenta unggul, meski sering diremehkan sebagian kalangan, adalah gejala serius dari masalah struktural yang lebih dalam: brain drain. Gelombang migrasi intelektual dan profesional terjadi karena negara gagal menyediakan iklim yang mendukung pertumbuhan dan inovasi.
Berdasarkan data agregat perwakilan RI (2024) di KPU, tercatat hampir 4,5 juta WNI yang merantau ke luar negeri. Karena data untuk KPU hanya mencakup pemilih, angka riil WNI di luar negeri kemungkinan berbeda, baik karena anak-anak tak terdata maupun karena mobilitas saat pemilu. Yang jelas, data dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan menunjukkan bahwa dalam enam tahun, ada 5.222 WNI berganti kewarganegaraan menjadi warga Singapura—mayoritas usia produktif.
Di tengah era bonus demografi, yang mana lebih dari 60% penduduk Indonesia berada dalam usia produktif, fenomena brain drain ini menjadi ironi besar. Alih-alih menjadi kekuatan untuk melepaskan diri dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) untuk bertransformasi menjadi negara maju, banyak talenta muda justru memilih meninggalkan tanah air karena kecewa pada birokrasi yang lamban, sistem pendidikan yang tidak adaptif, serta budaya kerja yang belum sepenuhnya menghargai kompetensi.
Di Den Haag, Belanda, Vincent Fidelis Setiawan (GL ‘15) juga memantau dari jauh perkembangan dunia kerja di tanah air. Ia menggeleng saat membaca berita soal pemutusan hubungan kerja massal dan stagnasi lapangan kerja profesional.
“Pemerintah enggak bisa nyalahin orang-orang yang ingin #KaburAjaDulu,” katanya. “Nyatanya, daya serap tenaga kerja di Indonesia memang enggak ber-kembang. Sudah resign malah disuruh balik lagi ke perusahaan lama.” Ia merujuk pengangkatan CPNS mundur dari April ke Oktober.
Vincent juga menyayangkan banyaknya lulusan studi doktoral dari luar negeri yang pulang hanya untuk mendapati diri bekerja di posisi yang tak sepadan dengan keahliannya. “Teman-teman aku yang lulus S3 dan pulang, ujung-ujungnya kerja di brand. Enggak salah sih, tapi peluang kerja di Indonesia tuh sempit banget untuk orang-orang dengan kapasitas tinggi. Kayaknya negara kita belum siap dan belum butuh orang yang pintar-pintar banget.”
Tentu, tak semua diaspora ingin menetap selamanya di luar negeri. Justru sebaliknya, banyak dari mereka memelihara harapan untuk pulang dan membangun kembali dari dalam. Yvan Christian (TM ’05) yang genap satu dekade tinggal di Malaysia menyebut bahwa pulang bukan soal romantisme, tapi soal kesiapan sistem.
“Insentif tak selalu soal finansial, tapi juga sistem kerja yang jelas dan ringkas. Jangan sampai kerja A, dengan objektif B, tapi diganggu institusi C. Jangan cuma panggil pulang, tapi birokrasinya tetap sama ruwetnya,” kata Yvan.
Menurut laporan Bank Dunia pada 2020, peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing business) Indonesia berada di peringkat 73 dari 190 negara. Ini berarti sistem birokrasi yang berbelit-belit, biaya yang tinggi untuk memulai bisnis, dan ketidakpastian hukum masih menjadi hambatan serius bagi mereka yang ingin berinovasi dan berinvestasi di negeri ini.
Kerinduan untuk berkontribusi nyata juga disuarakan oleh Haris Koentjoro (AR ‘90), arsitek yang sejak 1999 menetap di Maryland, AS. Tak menampik hambatan bisnis di Indonesia, Haris memulai langkahnya dengan mendirikan firma arsitektur di Bandung dan Jakarta. Haris berprinsip “Kalau pulang harus bisa menciptakan lapangan kerja, bukan mengambil jatah orang lain.
Sumber masalahnya bukan individu yang memutuskan pergi, melainkan sistem yang gagal menampung mereka. Sebuah negara yang tak menyiapkan ruang bagi SDM unggul akhirnya akan melihat mereka memberikan kontribusi, tapi bukan untuk Indonesia.
Meski terdengar suram, banyak diaspora masih menyimpan optimisme. Ferdian, misalnya, bermimpi suatu saat ada gerakan kolektif untuk pulang membangun bangsa bersama. “Saya berharap suatu hari nanti pemimpin RI tertinggi memanggil kami pulang. ‘Yuk, kita bareng-bareng bangun ulang Indonesia dengan sistem yang sehat.’,” ujarnya.
Tapi tentu saja, brain gain butuh komitmen. Negara harus berbenah. Dunia pendidikan perlu disinkronkan dengan kebutuhan industri masa depan, bukan melulu kurikulum yang terus berubah tanpa arah. Birokrasi harus dipangkas dan dipermudah. Dunia kerja harus menciptakan sistem yang menantang dan adil.
“Pada akhirnya, kita ini ‘produk Indonesia’. Harapan itu harus diciptakan,” kata Ferdian. “Kita harus optimis, jaga ja-ringan, dan mudah-mudahan, kita bisa menghadirkan generasi baru yang menggantikan oknum sekarang yang problematik.”
#KaburAjaDulu memang terdengar pahit, tetapi ini adalah suara yang jujur. Suara generasi yang mencintai negeri ini dan menuntut negeri ini membalas cinta itu dengan sistem yang adil, ruang berkarya yang layak, dan keberanian untuk beru-bah. Sebab, jika itu tidak tersedia, pergi bukan lagi pengkhianatan, melainkan cara untuk bertahan.