Prasanti Widyasih Sarli mendapatkan dana hibah For Women in Science dari L’Oréal-UNESCO 2024. Risetnya menciptakan aplikasi kecerdasan buatan untuk keselamatan bangunan dari gempa.
ADA satu pernyataan yang lazim disebutkan oleh para ahli sipil ketika berhadapan dengan gempa: “Gempa bumi tidak membunuh orang, tetapi bangunan yang rusak dapat melakukannya.” Di negeri seperti Indonesia—berdiri di atas Cincin Api Pasifik dan kerap diguncang gempa—pernyataan ini bukan sekadar retorika. Ini adalah pengingat akan pentingnya membangun dengan bijak.
Riset United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) yang dilakukan selama dua dekade (1996–2015), mencakup 7.000 bencana, menemukan bahwa 90% kematian akibat bencana terjadi di negara-negara miskin dan ber-kembang. Risiko kematian bagi penduduk di negara-negara tersebut lima kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tinggal di negara maju. Ketimpangan ini menjadi panggilan mendesak bagi peningkatan ketahanan infrastruktur, terutama di negara rawan bencana seperti Indonesia.
Di tengah upaya memperkuat ketahanan terhadap bencana, hadir sosok Prasanti Widyasih Sarli (SI ’06). Ia adalah dosen Teknik Sipil ITB yang tengah mengembangkan inovasi berbasis kecerdasan buatan untuk memetakan kerentanan bangunan terhadap gempa.
Pada penghujung 2024, kerja kerasnya mendapat pengakuan: ia meraih dana hibah dari program For Women in Science yang diadakan L’Oréal-UNESCO. Dana sebesar Rp100 juta itu ditujukan untuk mendukung perempuan peneliti muda yang menghasilkan inovasi berdampak bagi pembangunan berkelanjutan.
“Sebenarnya, saya tidak terbiasa untuk mencari penghargaan semacam ini,” kata Asih kepada Alumnia pada awal Maret lalu. “Tapi, ternyata banyak kesempatan yang didapat ketika kita memenangkan penghargaan.”
Selama ini, pemetaan kerentanan bangunan pasca gempa bergantung pada survei lapangan yang menyita waktu dan tenaga. Setiap bangunan harus dikunjungi, dianalisis visualnya, lalu dikategorikan berdasarkan karakteristiknya. Metode ini tidak praktis untuk area yang luas, apalagi jika waktunya mendesak.
Berangkat dari keterbatasan tersebut, Asih merintis pendekatan baru dengan membangun sistem otomatis berbasis kecerdasan buatan menggunakan pemrosesan citra. Pada 2022, ia memulainya hanya di internal Teknik Sipil. Belakangan, riset ini melibatkan kolaborator dari Universitas Bung Hatta di Padang dan University of Warwick di Inggris. Proyek ini menjadi respons atas gempa besar di Sumatera Barat tahun 2009, yang menewaskan lebih dari 1.177 jiwa dan merusak lebih dari 200.000 rumah.
Sistem yang ia kembangkan memanfaatkan gambar dari Google Street View yang kemudian dianalisis menggunakan teknologi Convolutional Neural Network (CNN). Dengan ribu-an gambar berlabel dari survei manual sebagai referensi, CNN dapat mempelajari pola-pola pada bangunan dan mem-prediksi dampaknya jika terjadi gempa.
Untuk menambah akurasi, Asih juga mengembangkan model berbasis Gaussian Process Regression (GPR) untuk menghitung kurva kerentanan, yakni proyeksi seberapa parah kerusakan bangunan pada intensitas gempa tertentu. Gabungan dua model ini memungkinkan pemetaan risiko secara cepat, akurat, dan efisien.
Hasil akhir dari riset ini adalah sebuah aplikasi web yang dapat digunakan oleh siapa saja—akademisi hingga pembuat kebijakan—untuk menilai kerentanan bangunan di suatu wilayah. Asih ingin aplikasi ini dikembangkan dengan menambahkan basis data dan peta gempa yang sudah tersedia agar bisa digunakan di semua wilayah.
Namun, teknologi hanyalah satu sisi dari koin. Sisi lainnya adalah kebijakan publik. Sayangnya, keberpihakan anggaran terhadap isu kebencanaan di Indonesia masih rendah. Pada 2025, misalnya, anggaran BNPB sebesar Rp1,4 triliun kena gunting 43% menjadi hanya Rp 470 miliar.
“Padahal, tanpa efisiensi pun sumber daya kita sudah sangat terbatas,” ujar Asih. Ia berharap hasil risetnya dapat menjadi dasar bagi para pemangku kebijakan untuk menilai risiko secara lebih presisi dan menentukan prioritas, termasuk dalam program retrofitting atau penguatan struktur bangunan.
Tak berhenti pada pemetaan risiko, Asih juga meneliti penggunaan kecerdasan buatan untuk menentukan jumlah dan posisi optimal damper (alat peredam getaran) di gedung-gedung. Riset ini bahkan mulai menarik perhatian perusahaan konstruksi luar negeri, meski di Indonesia masih minim peminat. “Pengembangan aplikasi itu proses seumur hidup,” ujarnya. “Harus terus diperbarui.”
Gedung tinggi di atas sepuluh lantai dan bangunan di atas 3.000 meter persegi umumnya sudah mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI). Di Jakarta, misalnya, gedung di atas delapan lantai harus melalui evaluasi oleh Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG).
Namun, untuk bangunan tempat tinggal, penerapan dan pengawasannya masih sulit dilakukan. “Kebanyakan rumah dibangun tanpa pengawasan profesional, hanya pakai tukang dan kebiasaan lokal,” kata Asih. Akibatnya, sebagian besar bangunan residensial tidak memenuhi standar tahan gempa.
Sementara itu, sistem pelaporan seperti SIMBG (Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung) belum menjangkau praktik di lapangan secara efektif. SIMBG merupakan sistem digital yang dikembangkan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang mewajibkan denah diunggah ke dalam sistem sebelum pembangunan.
Kesadaran masyarakat soal pentingnya membangun rumah yang aman pun masih rendah. “Pemilik rumah biasanya menganggap harga sebagai aspek terpenting dalam pembangunan rumah sehingga keamanan (terhadap gempa) belum menjadi prioritas,” katanya.
Ia menekankan pentingnya edukasi, mulai dari jenis tanah, posisi rumah terhadap patahan hingga cara membangun struktur tahan gempa. “Pemerintah sudah mencoba membuat panduan kelayakan rumah, tapi implementasinya masih jauh dari ideal,” katanya.
Asih lulus dari ITB pada 2010. Ia melanjutkan pendidikan masternya di kampus yang sama, lalu meraih gelar doktor dari University of Tokyo. Asih sempat berkarier di berbagai instansi sebelum kembali menjadi akademisi di Kampus Ganesha 10. Risetnya di bidang rekayasa struktur kerap bersinggungan dengan mitigasi bencana.
Sebagai dosen, ia mengajar dan terus meneliti, dengan harapan agar sains dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa. Dalam setiap garis data yang ia pelajari, dalam setiap gambar bangunan yang dianalisis algoritma, tersimpan satu tujuan sederhana: menjadikan rumah tempat berlindung, bukan tempat terakhir.