Komunitas BREED membahas praktik korupsi yang terus diwariskan di Indonesia menggunakan buku yang ditulis sejarawan Ong Hok Ham sebagai sumbernya.
KORUPSI di Indonesia bukan sekadar tindakan kriminal, tetapi juga fenomena sosial, ekonomi, dan politik yang telah berakar dalam sistem pemerintahan dan masyarakat. Faktor-faktor seperti warisan kolonialisme, birokrasi yang rumit, serta ketimpangan ekonomi yang terus berlanjut membuat praktik korupsi sulit diberantas.
“Politik oligarki dan korupsi terus berulang—dulu dikenal dengan istilah priyayi, kini berubah menjadi oligarki dan birokrasi. Pola yang sama terus terjadi, menunjukkan bahwa Indonesia belum banyak berubah sejak masa kolonial,” kata Emil Fahmi Yakhya (IF ‘09) dalam diskusi BREED #236 pada Rabu, 19 Maret 2025.
Emil dan Agung Aswamedha (FI ‘02) tengah membahas fenomena korupsi yang dikupas dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang karya sejarawan Tionghoa-Indonesia, Ong Hok Ham (1933-2007). Buku ini pertama kali terbit pada 2002. Meski, bukan buku baru, buku ini mereka nilai sebagai buku yang masih relevan kondisi saat ini, di mana korupsi terus merajalela.
Buku tersebut merupakan kumpulan esai yang ditulis profesor sejarah dari Universitas Indonesia itu di Majalah Tempo. Buku itu membahas bagaimana korupsi telah menjadi bagian dari sistem kekuasaan sejak era kerajaan, kolonialisme, hingga masa modern.
Dalam diskusi, Emil dan Agung menyebutkan bahwa budaya korupsi di Indonesia telah mengakar sejak era kolonial, terutama melalui sistem pemerintahan yang diperkenalkan oleh VOC. Sebagai salah satu perusahaan paling korup dalam sejarah, VOC membangun sistem birokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal dibandingkan kesejahteraan rakyat. Setelah kemerdekaan, pola ini tetap berlanjut dari era Orde Lama hingga Reformasi, meskipun aktornya berubah dari penjajah asing menjadi elit domestik.
Pada era Orde Baru, misalnya, Presiden Soeharto membangun legitimasi kekuasaannya dengan menggabungkan narasi pembangunan dan stabilitas nasional. Namun, di balik itu, praktik patronase politik justru memperkuat sistem korupsi. Kekuasaan didistribusikan berdasarkan loyalitas pribadi, bukan transparansi dan meritokrasi.

Hal ini terus berlanjut di era Reformasi, di mana politik transaksional menjadi alat utama dalam mempertahankan kekuasaan. “Pola ini terus berulang dalam politik modern, mulai dari era Soekarno, Soeharto, hingga sekarang, dengan pola oligarki yang terlihat dalam kepemimpinan Jokowi dan Prabowo,” kata Emil.
Menurut Agung Aswamedha, legitimasi kekuasaan di Indonesia sebenarnya sudah memiliki akar yang lebih dalam dari sekadar kolonialisme. Ia menyoroti konsep Wahyu Kedaton, yang sejak era kerajaan dianggap sebagai sumber legitimasi penguasa.
Dalam kepercayaan ini, seorang raja dianggap mendapatkan wahyu atau mandat dari Tuhan untuk memerintah. Namun, karena wahyu ini dianggap bisa berpindah tangan, perebutan kekuasaan menjadi tidak terhindarkan.”Kekuasaan di Indonesia tidak pernah benar-benar stabil, karena legitimasinya selalu diperebutkan, dan konsep Wahyu terus menjadi ajang perebutan,” ujar Agung Aswamedha
Ketidakstabilan ini, menurutnya, mendorong praktik suap, nepotisme, dan kolusi. Para elite politik yang berkuasa sering kali menggunakan segala cara untuk mempertahankan posisinya, termasuk dengan membangun jaringan patronase yang korup.
Selain faktor sejarah dan politik, ketimpangan ekonomi juga menjadi pemicu utama praktik korupsi di Indonesia. Pada masa kolonial, perekonomian didominasi oleh kelompok tertentu, terutama komunitas Tionghoa yang diberi hak dagang terbatas oleh pemerintah kolonial.
Sementara itu, pribumi dijauhkan dari sektor perdagangan dan lebih diarahkan menjadi pekerja rendahan. Struktur sosial ini menciptakan kesenjangan ekonomi yang bertahan hingga era modern.
Setelah kemerdekaan, akses terhadap ekonomi tetap tidak merata. Kelompok-kelompok tertentu masih memiliki kontrol yang lebih besar atas sumber daya dan peluang ekonomi. Kondisi ini memicu praktik korupsi sebagai strategi bertahan hidup bagi mereka yang berada di dalam sistem, sekaligus memperkuat kesenjangan bagi mereka yang tidak memiliki akses.
Selama ketimpangan ini terus terjadi, sulit bagi Indonesia untuk benar-benar memberantas korupsi. Tanpa distribusi ekonomi yang lebih adil, korupsi akan terus menjadi alat bagi segelintir orang untuk mempertahankan kekuasaan dan keuntungan pribadi.
Untuk benar-benar memberantas korupsi, solusi yang dibutuhkan bukan hanya sekadar penegakan hukum yang tegas, tetapi juga reformasi struktural yang menyentuh akar masalah. Transparansi dalam birokrasi, penguatan meritokrasi, serta distribusi ekonomi yang lebih adil adalah beberapa langkah yang harus dilakukan agar pola korupsi yang telah berulang selama berabad-abad dapat dihentikan.
Jika tidak, sejarah akan terus berulang, dan Indonesia akan tetap terjebak dalam lingkaran korupsi yang sulit diputus.
One Response