Pakar Tambang ITB: Kolaborasi ITB–Kemenperin, Fondasi Awal Indonesia Kuasai Industri Mineral Global

Fachrizal Hutabarat

KEMENTERIAN Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin) menandatangani perjanjian kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jakarta pada 28 Oktober 2025. 

Perjanjian tersebut ditandatangani di Jakarta oleh Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Taufiek Bawazier dan Wakil Rektor ITB Bidang Riset dan Inovasi Lavi Rizki Zuhal, serta disaksikan oleh Rektor ITB Tatacipta Dirgantara.

Kolaborasi ini dimaksudkan untuk mengembangkan riset dan kajian teknologi yang akan mempercepat proses industrialisasi mineral non-logam, seperti silika dan grafit.

Menyoroti kesepakatan tersebut, seorang pakar industri pertambangan yang juga merupakan alumni ITB, Wisnu Salman (TA’95) ikut mendukung langkah strategis tersebut.

Menurut Wisnu Salman, kolaborasi antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan ITB sangat mendesak dan krusial untuk mempercepat hilirisasi mineral di Indonesia. 

“Sinergi ini merupakan kunci untuk mengatasi berbagai tantangan dalam upaya mentransformasi ekonomi dari mengeksplorasi bahan mentah menjadi produsen produk bernilai tambah tinggi,” kata Wisnu Salman saat dihubungi alumnia pada 5 November 2025 lalu. 

Wisnu melanjutkan, Tujuan utama hilirisasi adalah meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri, mengurangi ketergantungan ekspor bahan mentah, dan menciptakan ekonomi yang lebih stabil. 

Hal ini dimaksudkan sebagai penciptaan inovasi yang relevan dengan kondisi geologis dan tantangan lokal, mengurangi ketergantungan pada teknologi impor yang mahal.

Selain itu, melalui riset dan pengembangan bersama, kolaborasi ini dapat mengidentifikasi rantai nilai yang paling optimal untuk setiap komoditas mineral. Hal inilah yang nantinya mendorong terciptanya industri turunan baru yang akan berkontribusi membuka lapangan kerja lebih banyak. 

“Riset ini akan mendorong terciptanya industri turunan baru (misalnya, bahan baku baterai, semikonduktor, dan industri masa depan lainnya) yang akan memberikan dampak ekonomi signifikan dan membuka lapangan kerja,” kata Wisnu Salman yang juga merupakan CEO dari perusahaan konsultan pertambangan dan lingkungan, Geomining Berkah tersebut.

Lebih lanjut, kerjasama dan penandatangan MoU antara ITB dan Kemenperin tersebut juga tak dapat dilepaskan dari peran para alumni ITB dibelakangnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih aktif mendukung agenda hilirisasi nasional. 

Pengembangan hilirisasi mineral non-logam ternyata sejalan dengan arah kebijakan nasional yang kini dijalankan melalui pembentukan Badan Industri Mineral (BIM), lembaga baru yang dipimpin oleh Prof. Brian Yuliarto (FT’94) yang dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto

BIM didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 77/P/Tahun 2025, BIM dibentuk untuk memperkuat rantai nilai hilirisasi mineral strategis dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya mineral nasional, termasuk silika dan grafit, dua komoditas yang juga menjadi fokus utama dalam kerja sama riset Kemenperin-ITB. 

“Banyak alumni ITB yang menjadi motor hilirisasi pertambangan Indonesia. Saat ini Prof. Brian Yuliarto ditunjuk menjadi kepala Badan Industri Mineral. Beliau juga melibatkan PERHAPI yang dominan dan ITB menjadi mitra diskusi. Prof. Brian menunjuk Prof. Nur Heriawan menjadi ketua tim task force nya,” kata  Wisnu yang juga ditunjuk menjadi ketua pusat informasi pertambangan Indonesia KPIPI.  

Sinergi ini menandai upaya terintegrasi antara pemerintah, perguruan tinggi khususnya ITB, dan riset teknologi dalam menciptakan nilai tambah industri mineral Indonesia.

Kedepannya, Wisnu juga menilai bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi “key player” di sektor industri mineral global. Pandangan ini terbilang sangat realistis mengingat Indonesia memiliki cadangan mineral khususnya nikel terbesar di Indonesia, namun ia menilai masih ada beberapa hambatan untuk mencapai hal tersebut.

“Cadangan Indonesia berlimpah, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar secara global, menyumbang hampir setengah dari total cadangan dunia, serta sumber daya penting lainnya seperti bauksit, timah, dan tembaga,” kata Wisnu. 

Menurut Wisnu, ada beberapa tantangan hambatan yang saat ini masih terjadi beberapa diantaranya seperti Penguasaan Sains dan Teknologi (IPTEK) dan Sinergi Akademisi dan Industri. 

Kedua hal tersebut dibutuhkan sebagai fondasi utama untuk kedaulatan industri, terutama untuk mineral tanah jarang yang kompleks, adalah penguasaan IPTEK melalui riset dan penelitian yang lebih lanjut. 

Serta, kolaborasi yang tepat antara pemerintah, akademisi, dan industri dibutuhkan untuk pemanfaatan mineral kritis yang efektif dan berkelanjutan. 

Oleh karena itu, dirinya sangat mendukung upaya kerjasama yang dilakukan oleh ITB dan Kemenperin, sebagai fondasi awal Indonesia bisa menjadi pemain kunci di industri mineral global.

“Singkatnya, Indonesia memiliki potensi besar dan posisi tawar yang kuat berkat cadangan mineralnya yang melimpah. Namun, untuk bertransformasi menjadi pemain utama global yang sepenuhnya siap, Indonesia perlu mengatasi tantangan struktural, meningkatkan kemampuan IPTEK dan SDM, serta memastikan tata kelola yang berkelanjutan,” kata Wisnu.

Kemenperin dan ITB akan Melaksanakan Dua Studi Teknologi Utama 

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyambut baik kemitraan ini dan menilai bahwa langkah tersebut sejalan dengan arah kebijakan industrialisasi pemerintah dalam visi Asta Cita.

Indonesia sendiri memiliki potensi besar dalam sumber daya silika dan grafit, yang menjadi bahan penting bagi industri masa depan. 

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga tahun 2025 sumber daya silika—termasuk pasir kuarsa, batu kuarsa, dan kuarsit—mencapai 27 miliar ton, dengan 7 miliar ton di antaranya masuk kategori cadangan. 

Sementara itu, sumber daya grafit diperkirakan mencapai 31 juta ton pada tahun 2023.

“Kami berharap kerja sama ini dapat menghasilkan kajian teknologi yang komprehensif untuk mendukung prioritas nasional dalam mengindustrialisasi mineral non-logam seperti silika dan grafit,” ujar Menteri Agus dalam pernyataannya, Selasa, 28 Oktober 2025, dikutip dari laman kemenperin.go.id.

Sebagai bagian dari kerja sama ini, Kemenperin dan ITB akan melaksanakan dua studi teknologi utama sepanjang tahun 2025, yaitu:

  1. Studi Teknologi Pengolahan dan/atau Pemurnian Silika menjadi Silicon Grade Metalurgi berbasis sumber daya mineral Indonesia.
  2. Studi Teknologi Pemurnian Grafit Alam dan Pengolahan Grafit Sintetis, termasuk analisis kelayakan ekonomi untuk implementasi industri.


Kedua inisiatif tersebut merupakan kelanjutan dari dua program nasional yang telah diluncurkan oleh Direktorat Jenderal IKFT pada tahun 2024, yaitu industrialisasi silika menjadi wafer silikon untuk mendukung industri modul fotovoltaik (PV) dan semikonduktor domestik, serta industrialisasi grafit untuk memperkuat ekosistem kendaraan listrik (EV) nasional.

Sementara itu, Rektor ITB Tatacipta Dirgantara menegaskan bahwa kerja sama ini mencerminkan komitmen ITB terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

“ITB berupaya menjadi universitas berkelas dunia dengan reputasi global, namun tetap relevan dengan kebutuhan nasional. Kerja sama ini merupakan wujud upaya kami dalam mengidentifikasi dan mengembangkan potensi yang dapat meningkatkan penciptaan nilai tambah,” ujarnya.

Sinergi antara Kemenperin dan ITB menandai langkah konkret menuju kemandirian industri mineral nasional. Kolaborasi ini diharapkan mampu memperkuat riset, inovasi, dan hilirisasi mineral non-logam agar Indonesia tak lagi sekadar menjadi pengekspor bahan mentah, tetapi pemain utama yang berdaya saing di pasar global.

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post