Peluang Kerja di Tengah Ancaman Deportasi

Amandra Megarani

Amerika Serikat telah lama menjadi magnet ekonomi. Di tengah ketergantungan Paman Sam terhadap tenaga kerja asing, pengetatan kebijakan imigrasi menjadi tantangan.

TAHUN ini, genap 26 tahun Haris Koentjoro (AR ’90) merantau di Amerika Serikat. Ia kini menjadi pemilik firma arsitek InPlace Design di Baltimore, Maryland. “Saya kesal dengar komentar pejabat Indonesia soal fenomena #KaburAjaDulu. Dangkal sekali. Orang enggak bisa menilai nasionalisme hanya dari alamat KTP,” kata Haris kepada Alumnia awal Maret lalu.

Meski jauh dari tanah air, Haris aktif mempromosikan budaya Indonesia. Ketua komisariat IA-ITB North America itu juga pernah menggelar Festival Indonesia di Washington DC, Frederick, dan Maryland, serta terlibat dalam penggalangan dana untuk anak-anak Indonesia melalui organisasi nirlaba. “Ini hal-hal kecil yang bisa saya lakukan,” ujar Haris yang pernah menjadi Presiden Asosiasi Indonesia-Amerika ini.

Perjalanan Haris di Amerika Serikat berawal dari krisis moneter 1997. Saat itu, rupiah anjlok hingga lebih dari 80% hanya dalam beberapa bulan. Dari Rp3.000 per USD, nilai tukarnya jatuh ke titik terendah Rp16.800 per USD. Dampaknya memukul sektor properti, termasuk usaha yang baru dirintis Haris.

Saat itu, Haris baru dua tahun menjalankan Matadia, sebuah biro desain arsitektur yang ia dirikan bersama Ridwan Kamil (AR ’90) dan Doddy Samiaji (AR ’90).

“Kami tidak dibayar untuk proyek yang kami kerjakan. Kas habis untuk membayar gaji drafter dan pesangon karyawan,” katanya. “Kami sepakat, perusahaan balik kanan, bubar jalan.”

Sulitnya kondisi ekonomi dalam negeri memaksa ketiga-nya mencari peluang di luar negeri. Ridwan dan Doddy lebih dulu melanjutkan studi di Amerika Serikat, dengan bantuan rekomendasi dari Profesor Mohammad Danisworo (1938–2024), Guru Besar Arsitektur ITB. Haris, di sisi lain, memutuskan menempuh jalur profesional.

Ia mulai mengirimkan lamaran ke berbagai firma arsitektur internasional. Kesempatan itu akhirnya datang dari Development Design Group (DDG), sebuah firma global yang berbasis di Baltimore, Amerika Serikat. Haris pun hijrah ke sana, dan menghabiskan 18 tahun berikutnya bekerja di DDG sebelum akhirnya mendirikan firma arsitekturnya sendiri.

Haris masih rutin pulang ke Indonesia setiap tiga bulan sekali. Maklum, proyek yang dipegangnya banyak berlokasi di Indonesia. Di antaranya, Pondok Indah (Jakarta), Bintaro (Tangerang), Surabaya sampai dengan Bali.

Kisah Boy Avianto (AR ’93) tak jauh berbeda. Ia merasa kariernya di Indonesia stagnan sampai akhirnya memutuskan kuliah master di bidang media digital di University of Lübeck, Jerman pada 2003.

Tiga tahun setelah lulus, Boy mendapatkan pekerjaan di City University of New York, Amerika Serikat, berkat jaringan global yang ia bangun selama studi. Kini, ia bekerja sebagai pengembang perangkat lunak di Hexagon, perusahaan teknologi asal Stockholm, Swedia.

“Ilmu yang saya pelajari belum banyak terpakai di Indonesia. Peluang saya ada di sini,” ujar Boy, yang kini telah merantau selama lebih dari satu dekade.

Bagi Haris dan Boy, Amerika Serikat menawarkan peluang yang belum bisa diberikan Indonesia, baik dari segi kesejahteraan maupun kesempatan berkembang. Sejak 1993, Amerika Serikat merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Produk Domestik Bruto Nya mencapai US$30,34 triliun pada 2023.

Meski begitu, hidup di Amerika tidak selalu nyaman. Boy yang tinggal di Queens, New York masih harus menghadapi kemacetan layaknya Jakarta. Pajak progresif yang tinggi–pajak nasional, pajak negara bagian hingga pajak kota– juga menjadi tantangan.

“Tapi, sekolah hingga SMA di sini gratis dan lokasinya sangat strategis, dekat dengan subway dan jalur bus,” kata Boy. Haris dan Boy juga memiliki green card, yang memberi mereka hak hampir setara dengan warga negara Amerika Serikat, kecuali dalam urusan pemilu.

Meski telah menetap lama, status imigran tetap membawa ketidakpastian. Pada periode kedua kepemimpinan-nya, Donald Trump menggagas program deportasi massal bagi imigran ilegal. Program ini bahkan telah menargetkan sekitar 4.000 WNI. “Yang surat-suratnya lengkap saja masih khawatir,” ujar Boy.

Haris membenarkan. Ia kerap merasa trauma saat kembali ke Amerika Serikat dari perjalanan bisnis. Trauma itu bermula pasca peristiwa 9/11. Kala itu, semua muslim yang masuk ke negara ini harus menjalani registrasi khusus, ter-

masuk wawancara mendetail tentang tujuan, lama kunjungan, dan aktivitas mereka.

“Muslim diperlakukan ‘istimewa’. Kami diarahkan ke ruangan terpisah dan diminta menunggu untuk proses wawancara,” Haris mengenang. Kadang proses itu hanya memakan waktu satu jam, tetapi tak jarang bisa berlangsung seharian penuh. “Kondisinya membuat cemas dan tidak nyaman.”

Kebijakan ini baru dihapus setelah masa jabatan George W. Bush berakhir pada 2009. Pada masa jabatan Donald Trump yang pertama, kebijakan registrasi kembali diterap-kan untuk muslim dari lima negara, termasuk Indonesia.

Kondisi-kondisi ini membuat Haris dan Boy pernah mempertimbangkan untuk beralih kewarganegaraan. Selain alasan keamanan, paspor Amerika Serikat lebih kuat. “Saya mau ke Jerman pakai paspor Indonesia, berkasnya sudah seperti menulis buku tiga jilid,” kata Boy. “Saya juga harus ke KBRI pagi-pagi sekali untuk mengurusnya.” Sebaliknya, putranya yang memegang paspor Amerika bisa langsung masuk ke Jerman tanpa visa. Hal serupa dialami Haris saat hendak mengunjungi Denmark.

Toh hingga hari ini, Haris dan Boy masih mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. “Keluarga, aset, dan hidup kami masih terikat di Indonesia,” kata Haris. Selain di fima di Maryland, ia juga memiliki dua firma arsitektur di Indonesia: PT Alami Intermedia (Bandung) dan Harmoni Design Ananta (Jakarta Utara). Ia membangunnya ketika ekonomi di Indonesia mulai pulih.

Haris dan Boy tidak merekomendasikan generasi muda “kabur” ke Amerika Serikat, setidaknya untuk saat ini. “Sekarang kalau mengajukan visa wisata ke Amerika Serikat hampir pasti ditolak,” kata Boy.

Selain karena kebijakan politik yang sedang tidak ramah imigran, kondisi ekonomi juga sedang lesu. Pertumbuhan ekonomi kuartal terakhir tahun lalu negeri ini hanya 2,3%, yang merupakan angka terendah sejak 2018. Ekonomi juga semakin tak pasti seiring terjadinya perang tarif.

“Kondisi di sini ‘sebelas dua belas’ dengan Indonesia,” kata Haris. “Kalau mau, coba Kanada,” kata Boy.

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post