Keramaian Nakerfest 2024
Lesunya perekonomian global berdampak pada melambatnya rekrutmen tenaga kerja di dalam negeri. Keterampilan menjadi modal penting dalam persaingan di pasar kerja yang kian ketat.
KODE batang digital itu tertera di ponsel Android Dian. Ia baru saja memperolehnya setelah mendaftar ulang di pintu masuk Naker Fest. Kode batang itu memuat semua data profil Dian sebagai pencari kerja. Dalam bursa kerja yang digelar Kementerian Tenaga Kerja itu, Dian hanya perlu memindai kode yang tertera di ponselnya untuk melamar pekerjaan. “Saya berharap bisa mendapatkan pekerjaan secepatnya,” kata Dian kepada Alumnia di Jakarta International Expo, Kemayoran, tempat bursa kerja digelar pada akhir Agustus lalu.
Dian menuntaskan pendidikan sarjana dari universitas di Cirebon tiga tahun lalu. Saat itu pandemi COVID-19 sedang parah-parahnya dan dia kesulitan memperoleh pekerjaan. Ia lantas membantu usaha toko plastik yang dikelola kedua orang tuanya. Kini setelah pandemi berakhir, ia kembali masuk ke pasar kerja.
Namun, mencari pekerjaan pasca pandemi tak lebih mudah. Berkali-kali dipanggil untuk tes hingga wawancara, Dian belum juga mendapatkan pekerjaan, padahal ia tak mematok pekerjaan yang sesuai dengan ijazah Hukum Syariah yang dipegangnya. “Apa pun saya lamar. Tapi, sering kepentok usia,” kata Dian yang berusia 25 tahun.
Kisah Dian hanya satu kisah dari puluhan ribu pencari kerja yang hadir dalam Naker Fest pada 23-35 Agustus 2024 lalu. Dalam tiga hari, Kementerian Tenaga Kerja mencatat kehadiran 25.370 pengunjung dan menerima 80.969 lamaran. Antusiasme yang besar dalam bursa kerja ini tak lepas dari ketatnya persaingan dalam dunia kerja.
Indonesia tengah mengalami masa bonus demografi. Sebuah masa ketika proporsi penduduk usia produktif (15-65 tahun) mencapai lebih dari separuh penduduk Indonesia yang berjumlah 282 juta pada tahun ini. Namun, deflasi yang terjadi selama lima bulan terakhir memberikan tekanan terhadap pasar kerja.


Ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menyebutkan bahwa inflasi dan pengangguran memiliki korelasi berbanding terbalik. Bila inflasi rendah atau menyentuh deflasi, “Pengangguran akan bergerak naik karena terbatasnya kesempatan di tengah lesunya kegiatan ekonomi,” kata Fithra seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Sejak dua tahun lalu, pasar kerja dunia mengalami perlambatan rekrutmen yang merupakan dampak dari lesunya perekonomian global. “Kami melihat kecepatan organisasi untuk merekrut tenaga kerja itu menurun, menjadi negatif karena banyak layoff,” kata Eddyman Kharma, Strategic Partnership dari Linkedin dalam sebuah diskusi, Agustus lalu. Di Indonesia sendiri, kata dia, terjadi deselerasi hiring.
Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 52.993 sepanjang Januari—September 2024. Jumlah ini lebih banyak 25% ketimbang periode yang sama pada tahun lalu. Jumlah ini juga berpotensi lebih besar mengingat data kementerian merupakan hasil rekapitulasi yang dilaporkan Dinas Tenaga Kerja di kabupaten/kota dan provinsi.
Meski PHK meningkat dan terjadi perlambatan rekrutmen tenaga kerja, “Kondisi Indonesia masih lebih baik ke-timbang Singapura,” kata Eddyman. Di negara tersebut, 27% organisasi masih menunggu kebijakan ekonomi dari bank sentral dan dampaknya pada konsumen sebelum melakukan rekrutmen. Namun, karena Indonesia memiliki tenaga kerja terbesar di Asia tenggara, perlambatan rekrutmen membuat pasar kerja dalam negeri bak leher botol: tenaga kerja membludak, lowongan terbatas.
Akibatnya, persaingan antar tenaga kerja menjadi sangat ketat. “Untuk posisi dengan gaji sepuluh juta ke bawah itu bisa satu (posisi) berbanding 200-300 (pencari kerja),” kata Christabella Egananta Pinem (TI ’17), konsultan rekrutmen dari JAC.
Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja Anwar Sanusi menyadari penuh kondisi pasar tenaga kerja yang tidak ideal ini. Dia berharap Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi seperti halnya Cina. Pada 1978, posisi Cina dalam ekonomi global masih berada di peringkat 10. Kini Tiongkok berada di peringkat kedua ekonomi terkuat dunia setelah AS. Ini berkat kebijakan tepat mengelola bonus demografi.
Keberhasilan Cina mengelola tenaga kerja, kata dia, bersumber dari kemajuan transformasi digital dan perkembangan industri manufaktur di negara tersebut. Indonesia juga tengah melakukan transformasi digital serupa, antara lain dengan mengembangkan sistem informasi pasar kerja yang lengkap. Tahun ini Kemnaker meluncurkan empat aplikasi: Karirhub (bursa kerja), Skillhub (kursus pendidikan dan keterampilan), Sertihub (sertifikasi profesi), dan Bizhub (pengembangan usaha). “Semuanya bisa diakses publik,” kata Anwar.
Rendahnya kualitas tenaga kerja di Indonesia menambah pelik persoalan di pasar kerja. Data Bappenas pada 2018 menyebutkan bahwa 90,45% tenaga kerja di manufaktur berkeahlian rendah. “Kita tidak mampu berkompetisi dengan baik karena standar kompetensi yang kita miliki belum mendapatkan pengakuan dari negara lain,”katanya. Menurut dia, pelatihan vokasi dan pendidikan vokasi selayaknya saling melengkapi. “Gagasan kami, SMK itu sejak awal harus dikoneksikan dengan balai latihan kerja yang ada,” katanya. Jauh sebelum siswa menamatkan pendidikan, proyeksi kerjanya sudah diarahkan. “Kalau dia akan bekerja di luar negeri, harus dibekali kemampuan berbahasa agar mampu berkompetisi,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi tingkat pengangguran terbuka (TPT) terbesar di Indonesia adalah lulusan SMK. Pada Februari 2024, TPT lulusan SMK mencapai 8,6% atau 1,6 juta jiwa. Proporsi ini lebih besar dari TPT lulusan SMA sebesar 6,7% dan TPT lulusan universitas sebesar 5,6%. Sementara itu, jumlah pengangguran SMK dan SMA di Indonesia mencapai 3,7 juta.
Anwar menyebut pasar kerja luar negeri merupakan solusi cepat untuk mengatasi persoalan pengangguran. “Pasar kerja luar negeri sangat tinggi, tapi kita tidak mampu mengoptimalkan karena keterbatasan kompetensi,” katanya.
Hal yang sama diungkap Sony Dwi Arianto (SI’ 02), Direktur Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Bahana Inspirasi Muda. Menurut Sony, bukan hanya kesempatan bekerja di luar negeri sangat besar, tetapi peluang kesejahteraannya lebih menjanjikan. Setiap tahun, Sony mengirimkan tak kurang dari 150 tenaga kerja lulusan SMK/SMA ke Jepang untuk bekerja formal sebagai caregiver. Tentu setelah para tenaga kerja menuntaskan pelatihan kerja dan lulus sejumlah tes dari Jepang. Dengan 40 jam kerja sepekan dan upah 1.000 yen per jam, “Mereka bisa menabung Rp 10 juta per bulan jika pintar mengatur keuangan,” kata Sony.
Dalam waktu dekat, Bahana akan mengembangkan pelatihan untuk staf perhotelan dan pariwisata, bidang yang tengah digenjot pemerintah Jepang. Jepang merupakan negara dengan proporsi penduduk lansia yang lebih besar ketimbang penduduk muda. “Mereka membutuhkan banyak tenaga kerja produktif,” kata Sony.
Karena itu, kata Anwar, pemerintah terus menggenjot infrastruktur yang diperlukan, antara lain, dengan pengem-bangan pelatihan vokasi, peningkatan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) dan pengembangan sistem keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Saat ini, Kementerian Tenaga Kerja memiliki 21 unit pelaksana teknis (UPT) Balai Latihan Kerja (BLK) di 15 provinsi, dan 285 unit UPT BLK di daerah.
Lulusan universitas juga mengalami tantangan yang tak kalah besar. Pada Februari 2024, jumlah pengangguran lulusan universitas mencapai 872 ribu. Kini bukan pendidikan terakhir saja yang menjadi pertimbangan perekrut dalam menyaring kandidat, keterampilan dan kompetensi juga sangat menentukan.
Yuliawati, Redaktur Pelaksana Katadata misalnya, lebih memilih kandidat yang memiliki keterampilan pengalaman di bidang media, ketimbang lulusan baru dari Ilmu Komunikasi. “Lulus sarjana enggak menjamin bisa bekerja. Mereka yang rutin magang di perusahaan media dan berpengalaman menulis lebih disukai,” katanya mencontohkan.
Keterampilan dapat menjadi modal lulusan baru untuk mendapatkan pekerjaan. Christabella menilai keterampilan khusus seperti bahasa asing selain bahasa Inggris dapat menjadi modal dasar berkarir professional. “Banyak perusahaan Jepang yang spesifik mencari engineer yang mampu bahasa Jepang,” kata Christabella.
Setelah lima tahun pengalaman profesional, kesempatan meningkatkan karier terbuka. “Biasanya perusahaan itu menginginkan kandidat dengan minimal pengalaman lima tahun. Usia paling tinggi 40-45 tahun,” kata Christabella. Tawaran untuk pindah kerja tak selalu diiming-imingi gaji tinggi. “Tetapi, ada penawaran benefit lain seperti insentif, bonus, dan jenjang karir,” katanya.
Pemerintah menyadari perlunya kolaborasi antar lembaga untuk meningkatkan kompetensi angkatan kerja usia produktif. Pelatihan vokasi menjadi ranah Kementerian Tenaga Kerja, sementara kebijakan pendidikan vokasi ditentukan Kementerian Pendidikan.
Pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 68 tahun 2022 tentang revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi. “Aturan ini diharapkan dapat mengkoordinasikan pelatihan dan pendidikan vokasi agar tidak jauh dari kebutuhan pasar kerja,” kata Anwar.