Imam Santoso. Sumber: mediakeuangan.kemenkeu.go.id
Keseharian hidup Imam Santoso (MG’03) dikala kecil sangatlah sederhana. Seperti layaknya anak-anak pada umumnya, ia kerap bekerja di ladang membantu orang tuanya yang bekerja sebagai buruh tani selepas pulang sekolah di kawasan rural di Desa Ambulu di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Kini, anak petani itu memiliki gelar lengkap sebagai Dr. Imam Santoso, S.T., M.Phil., Imam adalah dosen di Prodi Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan di Institut Teknologi Bandung (FTTM ITB). Imam menamatkan S1 di prodi Teknik Metalurgi (2003-2007), ia melanjutkan studi S2 nya di School of Chemical Engineering, University of Queensland, Australia (2011-2013), dan menamatkan studi S3 di School of Chemical Technology, Aalto University, Finlandia (2014-2019).
Namun sebagai anak desa, kehidupan awal Imam sudah menghadapi berbagai tantangan hidup yang kemudian menempanya hingga ia bisa menjadi seorang akademisi dan ilmuwan Metalurgi ternama dari ITB hingga sekarang. Salah satunya adalah keterbatasan ekonomi keluarga yang membuatnya harus mencari cara untuk melanjutkan pendidikan dasar. Terlebih lagi, ia harus menerima kenyataan karena kehilangan ibunya saat masih duduk di bangku TK.
“Ya rumahnya dari bambu yang hampir roboh, lantainya tanah, kalau hujan badai itu sering goyang-goyang kayak mau ambruk gitu, ada tikusnya, ya begitulah pokoknya. Tapi Alhamdulillah happy walaupun hidupnya seperti itu, sama keluarga selalu diajarkan untuk bersyukur, tapi ingat sekolah tinggi”, kenang Imam menceritakan masa-masa kecil dalam kehidupan penuh kesederhanaan bersama keluarga mengutip dari situs resmi lpdp.kemenkeu.go.id pada Jumat, 17 Januari 2025.
Imam pun kemudian seperti tersadar dari pesan orang tuanya, di tengah keterbatasan dan himpitan ekonomi yang membuatnya percaya bahwa hanya pendidikan yang bisa mengubah hidupnya. Imam memilih belajar keras dari tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Ia pun tumbuh menjadi anak yang cerdas, ia sering kali mendapatkan beasiswa dari prestasi akademis untuk menopang pendidikannya.
Perjodohannya dengan keilmuan Teknik Metalurgi pun diawalinya dengan penuh lika-liku. Imam mengaku awalnya ingin menjadi seorang dokter. Hal ini dilandasi atas kematian ibunya yang sakit tanpa pernah mendapatkan pengobatan yang layak. Hal ini yang melandasi niatnya melanjutkan studi Kedokteran di FK UNAIR, Surabaya selepas lulus SMA pada tahun 2002 silam. Namun, nasib pun berkata lain, ia dinyatakan tidak diterima di prodi Kedokteran pilihannya saat itu.
“Aku juga pernah gagal juga, pernah down juga. Aku dulu bahkan diungsikan ke Trenggalek juga di rumah pamanku, gak keterima jadi dokter kan setahun tuh, ngapain kalau di desa kan jadi omongan tetangga isin Imam pengen jadi dokter gak lolos. Akhirnya yang sudah diungsikan aja lah biar tenang, sambil jualan kaca, jualan paku di Trenggalek uangnya dikumpulin buat daftar beli formulir SPMB lagi”, kisahnya mengenang masa-masa gagalnya, mengutip dari situs resmi lpdp.kemenkeu.go.id pada Jumat, 17 Januari 2025.
Lucunya, pada suatu hari, Imam berkata bahwa dirinya pernah diajak ayahnya untuk membayar arisan ke salah seorang tetangganya yang hidupnya sangat kaya raya di desanya. Ternyata orang kaya tersebut berprofesi sebagai satpam tambang. Dari kisah kesuksesan satpam tersebutlah dirinya terinspirasi untuk masuk ke Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM ITB) demi mampu mengangkat derajat ekonomi keluarganya suatu saat nanti.
“Saya langsung berpikir, “apakah saya harus pindah ke jurusan tambang saja yak? Kok mereka jadi tajir-tajir?”,” kelakar Imam mengutip dari situs resmi lpdp.kemenkeu.go.id.
Setelah gagal masuk ke prodi Kedokteran, Imam pun kemudian memutuskan untuk “gap year” selama setahun untuk mencoba mengulang lagi peruntungannya di Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2003. Berkat kegigihannya, ia pun diterima di Program Studi Teknik Metalurgi ITB tahun 2003 lalu.
Saat masih menempuh pendidikan di Bandung, Imam sudah terbiasa mencari penghasilan tambahan dengan memberikan les kepada anak-anak sekolah. Selain itu, ia sering diminta membantu sebagai tutor oleh teman-teman kuliahnya. Dari pengalaman tersebut, Imam merasakan kepuasan batin dalam mengajar. “Saya menyadari bahwa menjadi dosen bisa menjadi jalan hidup saya, sehingga saya dapat terus mengajar dan memberikan inspirasi kepada anak-anak di kampung,” kenangnya.
Imam menghadapi banyak tantangan selama masa kuliahnya di Bandung, termasuk perjuangan mencari beasiswa untuk menunjang pendidikannya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia mengenang, “Berbagai beasiswa pernah saya dapatkan saat kuliah, mulai dari perusahaan minyak, Bank BRI, Supersemar, dan masih banyak lagi,” ungkapnya, mencerminkan kerja keras yang ia lakukan selama belajar di ITB.
Setelah menyelesaikan studinya di ITB, Imam merasa terpanggil untuk menjadi seorang pendidik dan mewujudkan impiannya menjadi dosen. Langkah awalnya dimulai dengan meraih beasiswa Australian Development Scholarship untuk melanjutkan pendidikan master di University of Queensland, Australia, dalam bidang Teknik Metalurgi.
Tidak berhenti di situ, setahun kemudian, Imam kembali mendapatkan beasiswa dari LPDP untuk melanjutkan studi doktoral di Aalto University, Finlandia, tetap dalam bidang Teknik Metalurgi.
Keputusan Imam memilih Finlandia sebagai tujuan studinya didasarkan pada prediksinya bahwa Indonesia akan menghadapi larangan ekspor bijih tembaga mentah dan memerlukan pengolahan tembaga di dalam negeri. Finlandia, yang dikenal sebagai salah satu negara dengan teknologi pengolahan tembaga paling maju, menjadi pilihan strategis yang sesuai dengan visinya untuk mendukung kebutuhan industri Indonesia di masa depan.
Imam memahami betul bahwa pendidikan telah mengubah hidupnya secara signifikan. Hal ini mendorongnya untuk menularkan semangat yang sama kepada anak-anak Indonesia yang kurang beruntung, baik dari segi akses informasi maupun dorongan untuk berkembang. Ia pun aktif menjembatani kesenjangan tersebut. Bahkan sejak masa kuliah S1, Imam sudah sering mengunjungi sekolah-sekolah di daerah terpencil, memberikan informasi tentang peluang melanjutkan pendidikan melalui Beasiswa Bidikmisi. Sambil tersenyum mengenang masa lalu, Imam bercerita bahwa inisiatif “jemput bola” ini ternyata berkontribusi pada keberhasilannya saat seleksi LPDP sepuluh tahun lalu. “Mungkin kegiatan blusukan itu yang membuat aku diterima,” ungkapnya.
Imam kini aktif sebagai influencer di media sosial, di mana ia membagikan berbagai cerita inspiratif tentang anak-anak muda yang telah berhasil ia bantu. Banyak dari mereka yang kini sukses, baik di bidang pendidikan maupun karier. Selain itu, Imam juga sering membagikan ilmu seputar keahliannya dalam bidang metalurgi dengan gaya bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat luas. Bagi Imam, setiap orang memiliki hak dan kemampuan untuk menggapai pendidikan setinggi-tingginya.
Saat ditanya tentang impiannya, Imam mengungkapkan keinginannya untuk melihat semakin banyak orang yang mampu meraih pendidikan tinggi. “Saya ingin terus berbagi dan membantu orang lain untuk sukses,” ujarnya. Ia juga berharap melalui media sosial, ia dapat memperluas jangkauan pesan-pesannya, sehingga semangat untuk belajar dapat menginspirasi jutaan orang di seluruh penjuru Indonesia.
“Pendidikan itu sangat penting dan mampu mengubah hidup. Jadi, belajarlah dengan sungguh-sungguh. Banyak beasiswa yang tersedia, jadi jangan sampai bergantung pada joki. Ingat, kuliah adalah investasi untuk diri kalian sendiri,” pesan Imam yang diakhiri dengan senyum khasnya.