Banyak negara dari Asia hingga Australia menawarkan lebih dari sekadar peluang ekonomi. Keinginan menjadi masyarakat global kini memantik motivasi untuk berkarier lintas batas.
QATAR, Malaysia, Thailand, dan Australia. Bagi sebagian orang, empat negara ini adalah destinasi liburan. Namun, bagi para diaspora Indonesia, tempat-tempat itu adalah panggung kehidupan baru—tempat mereka mewujudkan mimpi dan berkontribusi secara global.
Adalah keinginan untuk diakui sebagai warga dunia yang menjadi bahan bakar mereka untuk berani melangkah jauh dari tanah air. Mereka tak sekadar mengejar gaji besar atau fasilitas mewah, tetapi juga membawa semangat untuk berkompetisi secara sehat di kancah internasional.
Ramainya tagar #KaburAjaDulu di awal tahun ini bukan-lah fenomena asing bagi Ferdian Rahim (SI ’05). “Ketidakpastian hukum, ekonomi yang tak menentu, lapangan kerja yang sempit, PHK massal, dan kebijakan pemerintah yang membingungkan. Semuanya datang beruntun,” ujarnya kepada Alumnia pada awal Maret lalu.
Ferdian memahami betul kegelisahan itu. Sepuluh tahun lalu, ia sendiri meninggalkan Indonesia dan menetap di Doha karena dorongan kuat untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Bermodal pengalaman lima tahun di bidang pengadaan, ia memanfaatkan jejaring alumni untuk mendapatkan peluang di Timur Tengah.
“Saya direkomendasikan oleh alumni untuk sampai ke sini. Info ‘loker’ dari ‘ordal’ itu memang luar biasa,” ujarnya sembari terkekeh. Namun, Ferdian menekankan bahwa kariernya melesat bukan karena koneksi, melainkan karena penguasaan teknis dan pemahaman komersial yang ia bawa.
Kini, ia menjabat sebagai manajer procurement di Ooredoo Qatar. Rencana awalnya untuk pulang setelah lima tahun tertunda karena pandemi dan kontrak kerja yang terus diperpanjang. Ia memilih tetap tinggal, mengejar mimpi yang kian terbuka lebar.
Qatar adalah “surga profesional”: 90% penduduknya merupakan imigran, pajak nihil, sistem kerja efisien, dan peluang karier yang terbuka bagi siapa pun yang kompeten, “Yang paling sederhana, jarak dari rumah ke kantor cuma 15 menit,” katanya. “Apalagi pas Ramadan, kerja cuma lima jam.”
Fasilitas kesehatan ditanggung penuh oleh kantor. Jika tidak, sistem publik negara ini memungkinkan siapa pun, termasuk pekerja biasa mengakses layanan kesehatan berkualitas dengan iuran tahunan yang sangat terjangkau.
Qatar, menurut Ferdian, menawarkan keseimbangan hidup yang nyata. Anak-anaknya belajar di sekolah dengan kurikulum Cambridge dan mengaji Al-Qur’an, mengikuti ekstrakurikuler renang dan sepak bola. Taman kota banyak dan keamanan luar biasa baik.
“Selama 10 tahun saya di sini, saya belum pernah mendengar kasus pencurian. Bahkan, mobil bisa ditinggal dalam keadaan menyala tanpa dikunci saat salat Jumat,” katanya. “Kepastian kesehatan, pendidikan anak, dan kesejahteraan. Di sini, itu semua ada.”
Jalur berbeda ditempuh oleh Simon Kurniawan (GL ’84). Tahun 2005, saat harga minyak melonjak di atas US$100 per barel, tawaran pekerjaan dari luar negeri berdatangan. Ia pun menerima pinangan Petronas, perusahaan minyak asal Malaysia. Jarak dengan Indonesia yang lebih dekat menjadi pertimbangannya.
“Saya sebelumnya tinggal di Jakarta. Tiap hari ke kantor rasanya seperti perjuangan. Kejar bus, macet berjam-jam,” katanya. Di Kuala Lumpur, hidup terasa lebih efisien. Dari rumah ke kantor hanya butuh 20 menit naik LRT sehingga waktu yang tersisa bisa digunakan untuk hal lain yang lebih produktif.
Senada dengan Simon, Yvan Christian (TM ’05) juga merasakan manfaat tinggal di negeri jiran. Ia kini bekerja di perusahaan Kanada yang memproduksi piranti lunak eksplorasi migas, setelah sempat studi master di Seoul dan fasih berbahasa Korea. “Saat saya lulus S1, harga minyak sedang rendah. Lapangan kerja sempit, maka saya ambil beasiswa. Strategi bertahan hidup,” katanya.
Di ibu kota Malaysia itu, Yvan tak membutuhkan mobil karena fasilitas transportasi publik yang layak. Biaya hidup lebih ekonomis, fasilitas kesehatan lebih terjangkau, serta sistem perpajakan lebih adil dan transparan. “Pengembalian kelebihan pajak bisa saya rasakan langsung,” katanya.
Strategi yang sama juga digunakan Khairullah Sastradinata (TM ’14). Ketika ia lulus studi sarjana, harga minyak juga sedang jatuh. Bermodal dana mandiri, ia mencari jalan masuk ke dunia industri dengan melanjutkan studi master di Curtin University, Perth pada 2019.
Pandemi sempat memaksanya pulang. Namun, kemudian jejaring akademik mengantarnya kembali ke Australia. Kali ini sebagai konsultan produksi migas sekaligus mahasiswa doktoral. “Pemerintah Australia mendukung penuh industri untuk menyekolahkan profesionalnya,” ujarnya.
Ia kini meneliti topik carbon capture and storage, isu penting dalam transisi energi. “Ada tuntutan besar, sudah pasti. Tapi, sistem di sini mengedepankan kompetensi. Kalau kita berkualitas, kita dihargai untuk yang bisa kita hasilkan,” katanya.
Khairullah juga menyoroti perubahan hukum ketenagakerjaan di Australia pada 2024 yang melarang perusahaan menghubungi karyawan di luar jam kerja. “Sekarang karyawan punya hak untuk menolak permintaan dari atasan setelah jam kerja selesai. Itu sangat mendukung keseimbangan hidup,” ujarnya.
Dari Thailand, Sufty Nurahmartiyanti (DI ‘06) juga merasa bekerja di Bangkok memberinya ruang untuk bernafas. Sebelum merantau, Sufty pernah menjalani lima pekerjaan lepas (freelance) sekaligus di Bandung—dari design researcher hingga manajer galeri seni. Namun, penghasilan gabungan itu tetap tak lebih besar dari pendapatannya bekerja di perusahaan IT saat ini.
Biaya hidup di Bangkok tak jauh beda dengan Bandung, tetapi infrastruktur publik, terutama transportasi, lebih mendukung. Dengan penghasilan yang stabil, ia bisa membiayai pendidikan anaknya sekaligus mengamankan masa depan-nya. Namun, bukan berarti jalan yang ia tempuh mudah. Tantangan bahasa dan stigma sosial sebagai ibu tunggal adalah hal yang harus ia hadapi sendiri.
Bekerja di luar negeri menuntut etos kerja tinggi dan profesionalisme tanpa kompromi. “Di sini, keterlambatan atau proyek gagal bisa berarti akhir karier,” ujar Simon. Tak ada toleransi untuk ketidakprofesionalan. Di tengah tekanan itu, ada kebanggaan tersendiri menjadi ekspatriat dari Indonesia.
“Kita dikenal bukan cuma ramah dan santun, tapi juga skillful. Apalagi alumni ITB. Kita dikenal karena kemampuan teknisnya,” kata Ferdian. Ia menegaskan kompetensi dan hasil kerja menjadi modal utama untuk dihargai di dunia global.
Merantau bukan tanpa harga. Simon mengakui jejaring sosialnya dengan rekan-rekan SMA dan kampus di tanah air semakin menipis. Sufty harus berpisah untuk sementara dengan putri semata wayangnya. Ferdian menyimpan kenangan pahit karena tak sempat menghadiri pemakaman ayah-nya. “Padahal saya sudah naik pesawat tercepat. Tapi, jarak Doha–Jakarta itu delapan jam, belum termasuk perjalanan ke Bandung,” katanya.
Namun, di balik pengorbanan itu, ada banyak pencapai-an dan harapan. Ferdian sempat menyaksikan Piala Dunia 2022 langsung di Qatar—salah satu mimpi yang ia wujud-kan. Ada satu mimpi lagi yang belum kesampaian. “Saya ingin menonton Piala Dunia dengan Indonesia sebagai salah satu tim yang bertanding. Insya Allah, suatu hari nanti,” ujarnya penuh harap.
Sufty ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi pilar keluarga, bahkan lintas negara. “Saya berharap bisa membawa anak saya ke negeri yang memiliki nilai yang sesuai untuk dia tumbuh dan berkembang, ” katanya. Baginya, Bangkok baru langkah awal dalam perlawanan terhadap keterbatasan.
Bagi mereka, merantau bukan soal meninggalkan Indonesia, tapi memperluas cakrawala. Di negeri orang, mereka tumbuh menjadi penghubung dua dunia: membawa keahlian Indonesia ke pentas global dan membawa pengalaman global untuk Indonesia kelak. Karena pada akhirnya, bagi mereka, menjadi warga global bukan berarti melupakan asal-usul.



