ITB Rencana Masuk Sektor Tambang, Ahli Peringatkan Ancamannya bagi Reputasi Akademik

Fachrizal Hutabarat

Sumber: www.itb.ac.id

Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar diskusi untuk mengevaluasi implikasi dari RUU Perubahan ke-4 atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batubara, khususnya terkait izin usaha pertambangan (IUP) bagi institusi pendidikan. 

Diskusi yang diadakan di Aula Gedung Energi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM ITB) Kampus ITB Bandung pada Jumat, 31 Januari 2025 tersebut dihadiri oleh Rektor ITB terpilih 2025-2030, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., para dekan Fakultas/Sekolah, serta Jajaran Pimpinan ITB lainnya. 

Diskusi ini juga membahas tantangan perizinan, kebutuhan investasi besar, risiko tinggi, serta pentingnya kolaborasi lintas disiplin dalam pengelolaan tambang. Hasil pembahasan tersebut juga bertujuan untuk melihat peluang ITB di masa depan sebagai teaching factory, yaitu di mana para mahasiswa ITB dapat terlibat secara praktis dalam proses pertambangan.

Selain itu, jika ITB mendapatkan konsesi atau izin tambang, hal Ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi teknis mahasiswa, sekaligus memberikan kontribusi pada pengembangan teknologi dan inovasi di bidang pertambangan. Namun, keterlibatan ini juga diiringi dengan potensi risiko reputasi nama baik ITB jika terjadi dinamika atau masalah dalam pengelolaan tambang tersebut.

Menanggapi hasil diskusi tersebut, CEO dari PT GEO Mining Berkah, Wisnu Salman (TA’95) berpendapat bahwa wacana yang ingin dilakukan ITB untuk melebarkan bisnis di sektor pertambangan justru malah akan membebani peran intinya sebagai perguruan tinggi negeri yang melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.  

Wisnu Salman, CEO PT GEO Mining Berkah

Menurut Wisnu, fokus ITB saat ini seharusnya lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian saja. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa wacana tersebut kuranglah tepat. Karena ada banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk meringankan beban UKT (Uang Kuliah Tunggal), seperti beasiswa, kolaborasi dengan alumni, atau menjalankan bisnis-bisnis lain yang lebih sesuai dengan misi pendidikan.

“Jika fungsi perguruan tinggi ditambah sebagai pelaku bisnis di sektor pertambangan, menurut saya hal ini akan membebani peran inti yang sudah ada. Mengelola tambang dengan alasan untuk membantu UKT, menurut saya kurang tepat.” Kata Wisnu saat dihubungi oleh Alumnia pada Senin, 3 Februari 2025.

Selain itu, Wisnu melanjutkan upaya ITB untuk mendiversifikasi lini usaha di sektor pertambangan untuk mendongkrak pemasukan tersebut sangatlah beresiko tinggi. Pasalnya, banyak aspek yang harus diperhitungkan, salah satunya adalah aspek lingkungan dan tantangan finansial yang besar.

Pasalnya, perguruan tinggi biasanya memiliki jargon dan komitmen kuat terhadap pelestarian lingkungan. Namun, menurut Wisnu, jika di satu sisi mereka masuk di sektor tambang tersebut, secara tidak langsung mereka juga berkontribusi terhadap pencemaran udara. Hal ini bisa menjadi kontradiktif dan beresiko kepada nama baik ITB Sendiri. 

“Mereka (PT) mengajarkan teknik-teknik untuk menjaga dan memperbaiki kondisi lingkungan. Namun, jika di saat yang sama mereka menjalankan bisnis yang berkontribusi terhadap pencemaran udara, seperti tambang batubara, ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai (Tri Darma) tersebut. Hal seperti ini harus dihindari oleh institusi pendidikan tinggi.” Ungkap Wisnu Salman kepada Alumnia. 

Selain aspek lingkungan, Wisnu juga melanjutkan, ada juga tantangan finansial yang besar. Misalnya, biaya reklamasi tambang batu bara bisa memakan Rp 20 miliar. Hal ini belum termasuk  biaya operasional lainnya. Jika ditotal, biaya pengelolaan tambang batu bara bisa memakan bisa mencapai Rp 300 miliar untuk menutupi kebutuhan operasional.

“Dari mana perguruan tinggi akan mendapatkan dana sebesar itu? Itu belum termasuk biaya operasional lainnya. Idealnya, sebuah tambang harus memiliki dana awal yang cukup untuk menutupi kebutuhan operasional selama lima tahun ke depan. Estimasinya, dana yang dibutuhkan bisa mencapai 300 miliar rupiah.” Kata Wisnu. 

Namun di satu sisi, Wisnu juga tidak memungkiri bahwa sudah ada PTN lain yang yang mendukung pembukaan usaha tambang. Misalnya, Universitas Negeri Padang dikabarkan sudah bersiap untuk memulai usaha tambang mereka sendiri. Selain itu, ada juga beberapa perguruan tinggi lain yang mendukung atau bahkan sudah terlibat dalam bisnis tambang.  

Tak hanya itu, Wisnu mengungkapkan beberapa organisasi keagamaan juga mulai masuk ke sektor tambang. Contohnya, Nahdlatul Ulama (NU) sedang dalam proses mencari jaminan reklamasi dan dana dari investor untuk usaha tambangnya. Sementara itu, Muhammadiyah juga telah membentuk dua PT untuk usaha tambangnya. Keterlibatan berbagai institusi dan organisasi tersebut menjelaskan bahwa potensi industri tambang sangatlah potensial untuk meraup keuntungan yang menjanjikan di sektor energi. 

“Di Indonesia sendiri ada sekitar 70 perguruan tinggi yang berpotensi terlibat dalam usaha tambang. Tapi tidak semua perguruan tinggi memiliki kapasitas dan keahlian yang memadai. Jika dipaksakan, justru bisa menimbulkan masalah (seperti yang saya bilang barusan).” Lanjut Wisnu. 

Oleh karena itu, Wisnu berpendapat, daripada ITB melebarkan sayap ke sektor tambang, sebaiknya ITB berperan dalam membekali para mahasiswa dan dosen dalam proyek-proyek penelitian yang berkaitan dengan tambang.

“Misalnya, mereka bisa melakukan kajian tentang cara meningkatkan kualitas lingkungan tambang, pengelolaan air asam tambang, atau pola lingkungan di tambang nikel, termasuk aspek ESG (Environmental, Social, Governance) tambang nikel.” Kata Wisnu. Hal ini dinilai Wisnu lebih lebih cocok bagi ITB karena sesuai dengan keahliannya dalam perguruan tinggi yang unggul dalam bidang pendidikan dan penelitian. 

Topik:
Share:
Facebook
X
LinkedIn
Threads
WhatsApp
Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *