Ketika alumni ITB menjalin silaturahmi lewat Persatuan Golf Ganesha. Dari mengayunkan tongkat di fairway hingga obrolan santai, golf jadi jembatan membangun koneksi.
RABU pagi yang cerah di akhir Februari, langit biru bersih membentang di atas Gunung Geulis Country Club, Bogor. Embun pagi perlahan menguap, meninggalkan hamparan hijau fairway yang segar. Suasana damai itu menjadi latar sempurna bagi sekelompok alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang bersiap mengayunkan stik golf mereka. Mengenakan kaos polo, mereka tampak antusias menyambut momen Reboan—sesi golf santai yang rutin digelar setiap Rabu oleh komunitas Persatuan Golf Ganesha (PGG).
“Kalau hari kerja, tarif lapangan cuma sepertiga dari akhir pekan. Itu kenapa kami pilih Rabu,” ujar Andrian Eka Putra (TA ‘98), Bendahara Umum PGG, saat berbincang dengan Alumnia. Di Rabu terakhir setiap bulan, jumlah anggota PGG yang bermain akan lebih banyak. Mereka akan berlaga dalam Monthly Medal, turnamen internal dengan sistem stroke play, yakni pemain dengan jumlah pukulan paling sedikit selama 18 hole keluar sebagai pemenang.
Yang membuat turnamen ini makin seru adalah hadiah-hadiah menarik—dari medali hingga logam mulia. PGG bukan komunitas baru. Benihnya sudah tumbuh sejak tahun 1970-an di bawah nama Ganesha Golf Club.
Namun, baru pada 1993 komunitas ini memiliki struktur organisasi formal ketika dipimpin tokoh-tokoh seperti almarhum Meilono Soewondo (MS ’73), Hatta Rajasa (TM ’73), dan Bakti Luddin (TI ’73). Pada 1979, PGG resmi tercatat sebagai anggota luar biasa Persatuan Golf Indonesia (PGI).
Sejak itu, komunitas ini terus berkembang dan kini memiliki sekitar 100 anggota aktif. Hingga 2022, sudah sembilan kali tongkat kepemimpinan berganti. Kini, PGG dipimpin oleh Adhika Caksana (TI ’92) yang membawa semangat baru dalam merangkul lebih banyak alumni. Bagi para anggotanya, PGG bukan cuma wadah bermain golf. Ini adalah ruang untuk menyambung silaturahmi, mempererat relasi lintas angkatan dan jurusan, sekaligus memperluas jejaring profesional.
Di padang golf, obrolan seputar bisnis sering mengalir lebih lancar dibanding ruang rapat. “Tipsnya, ikut saja dulu kegiatannya, entah turnamen atau jadi bagian dari kepengurusan. Nanti bisa ketemu senior-senior yang sudah berada di posisi strategis,” ujar Andrian, yang beberapa kali sukses membuka peluang kerja sama lewat aktivitas PGG. Bahkan menurutnya, cara seseorang bermain golf bisa memberi gambaran karakter.
“Kalau di lapangan saja suka curang, mending pikir ulang sebelum berbisnis sama dia,” ujarnya sambil tertawa. Selain agenda mingguan dan bulanan, PGG juga punya turnamen tahunan bergengsi: Ganesha Cup. Di ajang ini, peserta dikelompokkan berdasarkan angkatan lalu bertanding dalam semangat sportivitas dan kebersamaan.
Pada edisi ke-20 yang digelar November lalu di Emeralda Golf Course, Depok, angkatan 1994 (Garolep) berhasil keluar sebagai juara. Komunitas ini juga rutin mengadakan kompetisi internal Match Play, sebuah format tanding antar pemain atau tim untuk memenangkan setiap lubang (hole). Yang menang adalah mereka yang unggul di lebih banyak hole dibandingkan dengan lawannya. Kegemaran bermain golf agaknya tidak hanya dimiliki anggota PGG.
Ada banyak komunitas alumni yang rutin mengadakan turnamen. “Turnamen golf di kalangan alumni itu banyak. Dalam setahun, bisa ada 24 turnamen,” kata Andrian. Sebut saja Piala Rektor yang digelar Angkatan 84 pada Februari lalu serta ITB Masters oleh Angkatan 86 yang dijadwalkan berlangsung pada April. Bahkan, Ikatan Alumni ITB Jakarta juga tengah bersiap menggelar Jakarta Open Golf Tournament di Gunung Geulis pada tahun ini.
“Untuk tahun ini saja, sudah ada 18 turnamen alumni ITB yang masuk agenda. Dan daftar itu masih terus bertambah,” kata Andrian. Di setiap turnamen, para pemain juga bisa memperoleh indeks handicap resmi dari PGI—alat ukur yang menunjukkan potensi kemampuan seorang pegolf dengan memperhitungkan tingkat kesulitan lapangan.
Karena tiap padang golf memiliki tingkat kesulitan berbeda, indeks handicap dianggap alat ukur yang objektif dan realistis. Sistem handicap ini diadopsi dari USGA (United States Golf Association) dan telah digunakan di Indonesia sejak 2000. PGG cukup serius dalam kompetisi.
Beberapa anggotanya adalah wasit golf berlisensi internasional, seperti Edy Panca (AR ’89) dan Alwi Hasan (FI ’90). Ada pula wasit nasional, seperti Alfriadi Simanjuntak (TA ‘98), M. Arfan (TM ‘93), dan Anar Arsyid (SBM ‘07) yang kerap berbagi pengetahuan tentang peraturan permainan.
“Sebenarnya banyak alumni dari kalangan politikus sampai direktur perusahaan besar yang terlibat di PGG,” kata Andrian. “Meski jarang tampil, kontribusi mereka terhadap komunitas ini terbilang besar.” Ia melanjutkan. Jangan salah, meskipun didominasi pria, komunitas ini juga terbuka untuk alumni perempuan. “Jumlahnya memang masih 10 persen, tapi mereka aktif,” kata Andrian. Salah satunya adalah Jeany Grace Talumewo (TF ’92).
Ke depan, PGG ingin menjadi komunitas yang lebih terorganisasi. Salah satu langkahnya adalah memperbarui AD/ART dan memperkuat sistem administrasi. Tujuannya sederhana: agar komunitas ini tetap guyub namun juga tertib, profesional, dan inklusif bagi semua generasi alumni.
PGG ingin menjangkau alumni muda, bukan hanya mereka yang sudah mapan. Informasi kegiatan komunitas ini bisa diperoleh lewat situs resmi, akun Instagram, atau dari teman seangkatan yang lebih dulu bergabung.